Happy reading.....
Hanna menyandarkan tubuhnya pada mobil milik Raja, ia sudah dari setengah jam yang lalu berada di sana, matahari pun sudah terasa sedikit menyengat di kulit gadis itu. Sebenarnya Bi Asih sudah menyuruh Hanna menunggu di dalam, tetapi ia menolak, biar kejutan katanya.
Hanna mendengus kesal karena yang iya tunggu tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Gadis itu menghentak - hentakan kakinya lalu mengedarkan pandangannya ke arah lantai 3 tepat dimana kamar Raja berada. Senyum misterius perlahan menghiasi wajahnya, ia kemudian menunduk memunguti kerikil kerikil kecil yang ada di sana. Dengan semangat ia berancang-ancang melempar kerikil itu ke arah jendela kamar Raja.
Hanna berhitung dengan pelan
"Satu....Dua....tig""Mau lo apain rumah gue?" Hanna meringis pelan saat suara datar dan dingin itu terdengar di telinganya, perlahan ia menjatuhkan semua kerikil di tangannya lalu memamerkan deretan gigi putih miliknya.
"Itu apa, ehh itu tadi mau lempar burung, soalnya burungnya terbang hehe"
"Namanya juga burung ya terbang, masak ngesot," sewot Raja dengan nada ketus.
Hanna tercengang lalu melompat dengan girang.
"WOW, emejing sangat. Ini pertama kalinya kamu ngomong lebih dari 3 kata."
"Luar biasa."
"Mantap jiwa."
Raja memutar bola matanya malas. Sungguh berlebihan sekali.
"Ngapain disini?" Tanya Raja
"Mau jemput kamulah pacar, masak mau nyuri mobil," Hanna mendengus pelan lalu menarik tangan Raja mendekat,"ayo."
Raja kemudian dengan pasrah menaiki mobilnya. Menghidupkan mesin, lalu bersiap pergi tanpa menyadari Hanna yang masih berdiri di luar dengan wajah cemberutnya, tangan gadis itu bersedekap dada.
"Raja bukain dong pintunya, gimana sih"
Raja melirik lewat ekor matanya lalu berujar dingin,"Punya tangankan?"
Hanna berdecak pelan,"Apa susahnya sih bukain pintu doang, aku udah dari kemaren berdiri di sini, capek tau"
"Sebenernya kita beneran pacaran nggak sih?"
"Raja dengerin aku"
Raja memejamkan matanya sebentar lalu menatap gadis itu tajam. Kenapa masih pagi begini ia sudah di buat naik darah begini. Sungguh menyebalkan dan sangat merepotkan.
"Naik atau gue tinggal!?" Ujarnya tak kalah tajam dari sorot matanya.
"Apa bedanya kita pacaran atau nggak," Hanna memalingkan wajahnya,"berangkat aja nggak apa apa"
Hanna lalu menghembuskan nafasnya pasrah, ia berjalan menuju pintu gerbang sambil mencari ponsel miliknya. Gadis itu menengadahkan kepalanya, menahan air mata yang siap meluncur. Ia marah, kesal dan dongkol setengah mati hari ini, percuma dia bangun pagi pagi begini, harusnya dia tak berharap lebih pada cowok itu. Tapi pikirannya juga mengatakan kalau ia sedikit berlebihan, bagaimana jika Raja malah kesal dan meminta putus padanya. Huaa, Hanna ingin kembali tetapi ia gengsi.
"Dasar nggak punya hati,"
"Brengsek."
"Jahat."
Hanna menendang kerikil dengan kesal, tangannya sibuk mencari nomor ponsel yang dapat ia hubungi. Setelah menemukan apa yang dia cari dia mendekatkan ponsel itu pada telinganya. Ia terpaksa meminta bantuan Dion karena ia tak mungkin berjalan kaki ataupun naik angkot. Ini perumahan elit mana ada kendaraan umum.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Boy (Tamat)
Teen FictionAku menyukaimu sama seperti aku menyukai hujan, tetapi mari kita lihat apa kamu bisa sedikit saja berbeda dari hujan yang ku sukai.