12.

5K 215 14
                                    

"Aku terpaksa berbohong, demi menghilangkan rasa khawatirmu."
-Tabita

💍

Siang itu, sepulang sekolah, seharusnya Ravelo sudah sampai dirumah dan tidur-tidur santai dikamarnya. Tetapi ia kini malah berada di lapangan basket sekolah bersama para manusia laknat. Zafran, Alvan, dan Alvin. Sementara Wildan entah pergi kemana.

"Curang lo, bangsat," maki Alvin berusaha merebut bola dari Alvan.

Ravelo menghentikan larinya. Ia berkacak pinggang seraya mengusap peluh yang menetes di dahinya. Panas matahari terasa menyengat kulit.

"Heh, lo yang sportif." Alvan menjauhkan bola dari jangkauan Alvin.

Alvin tetap berusaha merebut bola sambil mengomel, menutup mata, hingga menjambak rambut kembarannya. Alvan yang tidak tahan dengan perlakuan Alvin, melempar bola ke sembarang arah. Tidak sengaja mengenai kepala Ravelo.

"Sakit, goblok!" Ravelo sontak berseru sambil mengusap kepalanya yang berdenyut sakit.

Zafran terkekeh, si kembar tidak mendengarkan. Dua bersaudara itu masih berselisih paham.

"Udah woy, kayak anak kecil aja," teriak Zafran.

"Ayo main lagi." Ravelo melempar bola ke arah si kembar. Alvin sigap menangkapnya.

Permainan berlanjut semakin seru. Tanpa mereka sadari, seseorang diam-diam memperhatikan dari kejauhan. Berdiri disebelah pohon mangga pinggir lapangan membuat segerombolan cowok itu tidak menyadari keberadaanya.

Tabita mengulas senyum tipis, kembali teringat akan kenangan manis bersama cowok yang sekarang tengah merebut bola dari Zafran. Mendribble sambil berlari mendekati ring.

"YE-" Tabita membekap mulutnya cepat-cepat sebelum berteriak saking senangnya Ravelo berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring.

Tabita sadar, keadaan telah berubah. Ia sudah memiliki Excel, dan keduanya tidak lagi mempunyai hubungan apa-apa. Dia tidak bisa memperlakukan Ravelo seperti dulu. Berteriak menyemangati saat Ravelo bermain basket, memberi perhatian-perhatian kecil lainnya. Yang ia lakukan sekarang adalah sebaliknya. Berusaha membenci walaupun kenyataannya tidak bisa.

"Woy!" seru seseorang menepuk pundak Tabita dari belakang. "Bengong aja, kakak."

Tabita mendengus sambil memegangi dadanya sendiri. Wildan disebelahnya nyengir tak berdosa.

"Ngapain dibawah pohon mangga sendirian? Awas ntar lo diganggu penunggunya, hihihihi..."

Tabita menabok lengan Wildan. "Gak takut. Lagian harusnya gue yang tanya, ngapain lo disini? Enggak ikut main yang lain?"

Wildan melirik arah lapangan. Tampak teman-temannya sedang seru saling berebut bola basket. Ia lalu beralih pada Tabita disampingnya. Wildan menyadari senyum tipis terukir diwajah manis cewek itu dengan pandangan terfokus pada salah seorang dilapangan.

Wildan tersenyum jahil. Ia tahu kemana arah mata Tabita.

"Belum bisa move on ya?" godanya.

Senyum Tabita lenyap. Kembali  memasang tampak galak. "Move on dari siapa?"

"Tuh, yang pake kaos biru." Wildan mengedikkan dagu pada Ravelo.

"Gak kenal-"

"RAV! ADA YANG NYARIIN-eh aduh ampun, Ta." Tabita mencubit pinggang Wildan yang tiba-tiba berteriak. Membuat Ravelo menoleh mendapati namanya dipanggil.

Tabita mendesis, "lo sekali enggak jadi ember bocor bisa gak sih? Heran gue."

Wildan merintih merasakan sakit di pinggangnya akibat cubitan maut Tabita. "I-iya gue gak gitu lagi. Lepasin dulu!"

Ravelo [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang