Mobil putih itu berhenti di depan garasi sebuah rumah. Gael melepas genggamannya pada stir mobil seraya menghela nafas lelah. Ia menengok ke samping, tempat adiknya duduk diam menatap keluar jendela mobil.
"Lo gak mau turun?" tanya Gael.
Gadis itu diam. Selama perjalanan pulang keduanya sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Tabita bahkan tidak mengalihkan pandangan barang sedikit dari kaca jendela. Tatapannya kosong dan sesekali helaan pelan lolos dari mulutnya yang terkunci.
"Tabita." Gael mengusap lembut kepala Tabita. Membuat sang empunya menoleh terkejut. "Maaf, kalo aja gue enggak terima tawaran Wildan buat gabung, mungkin lo enggak akan dengar itu semua."
Tabita menepis tangan Gael. "Bukan salah lo, Bang."
Gael tersenyum tipis. "Lupain apa yang terjadi hari ini. Apa yang cewek itu bilang tentang lo, semua itu enggak bener. Abang lebih tau, lo bukan cewek seperti itu. Jadi, gue mau lo lupain hal-hal buruk yang lo dengar hari ini dan kemarin," ucap Gael sengaja menekankan kata cewek itu. Ia sendiri tidak terima adiknya dicampakkan, apalagi Tabita, ia pasti sakit hati mendengar ucapan Maya di restorant.
"Dengan kamu terus terusan mikirin penilaian orang lain tentang kamu, sama aja kamu siksa diri sendiri. Buang-buang waktu, tenaga, perasaan. Percuma juga, mereka gak akan semudah itu buat suka sama kamu," tutur Gael.
Tabita menghempaskan punggungnya pada sandaran mobil. "Penilaian dia tentang gue udah jelek dulu, Bang. Mau gimana pun gue berusaha bersikap baik, kalau dasarnya udah enggak suka bakal tetap gitu."
"Nah, itu tau. Mangkanya mulai sekarang pinter-pinter lo pilih hal yang emang perlu lo ladenin atau enggak. Jangan dikit-dikit baper, cengeng. Kalo lo lemah mereka justru semakin suka jatuhin lo," tanggap Gael.
"Tapi tetep aja semua itu gak mudah. Gue cewek, sakit hati denger orang ngatain gue seenak jidat. Walaupun gue tau itu enggak bener sama sekali," gerutu Tabita.
"Terus lo mau gimana? Balas dendam gitu?" tanya Gael
Tabita menggeleng. Tangan Gael bertumpu pada stir mobil. Menunggu jawaban Tabita, namun sepertinya adiknya itu tidak berniat menjawab justru memejamkan mata. Hening. Keduanya sama-sama bungkam, sampai Gael menyeletuk.
"Lo masih sayang sama Ravelo?"
Mata Tabita membulat sempurna. Dalam hitungan detik rintihan kesakitan Gael terdengar saat Tabita memukul kepala kakaknya itu dengan botol air mineral yang masih utuh.
"LO! Sehari aja gak nyebelin. Plis, gue lagi butuh ketenangan Gaishan," seru Tabita.
"Gue cuma nanya, Tabita. Ngapa lo sensi banget," balas Gael. "Tinggal bilang kalo emang enggak bener. Malah marah," timpalnya.
"Pertanyaan.lo.itu.gak.penting,"kata Tabita penuh penekanan.
"Penting! Lo harus inget, status lo masih sebagai calon tunangannya Ravelo. Gue cuma memastikan apakah perasaan itu masih ada atau enggak," kelakar Gael.
"Dan melihat tingkah lo selama ini, gue udah tau jawabannya." Gael tersenyum licik. Tabita menaikkan sebelah alisnya, bertanya.
"Lo masih sayang sama Ravelo."PLETAK
"Awh, tega lo, adek durhaka," rintih Gael mengusap dahinya yang terkena timpulan botol, lagi.
"Bodo amat. Asal lo tau, gue gak pernah lagi punya rasa lebih ke cowok itu. Karena perasaan gue ke dia udah mati!" tukas Tabita membuka pintu mobil.
"Aelah, muna banget jadi cewek. Gue doain lo jilat lidah sendiri. Aminn!" seru Gael seiring dengan langkah Tabita yang masuk ke dalam rumah.
"Gak akan!" balas Tabita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravelo [COMPLETED]
Подростковая литератураKata mereka, masa lalu tidak akan pernah bisa di ulang. Apalagi dengan orang yang sama. Tidak akan seindah dulunya. Hingga suatu hari kedua orang tuanya memaksa Ravelo pindah sekolah dari Jerman ke Indonesia. Tanpa sepengetahuan Ravelo, Kedua orang...