"Lupain aja. Sebagai imbalannya, gue yakin lo akan menemukan cinta lain yang sedang menunggumu. Seseorang yang bersedia memelukmu dalam pelik."
- Zafran Alatas.💍
Kemunculan Excel yang kembali berulah membuat Ravelo tidak tenang. Geloisah karena khawatir pada sosok gadis yang entah kini bagaimana keadaannya. Tapi memikirkan soal percintaan malam ini rasanya kurang tepat.
Seminggu lagi menuju medan tempur. Mau tidak mau Ravelo sibuk mempersiapkan segala hal yang ia butuhkan untuk menghadapi Ujian Nasional sebentar lagi. Ia lebih banyak menghabiskan waktu berkutat dengan buku-buku kumpulan soal daripada berkumpul dengan teman-temannya atau pun membahas masalah hati.
Tetapi hari ini, sepertinya Wildan tak membiarkan kehidupan Ravelo tenang. Saudaranya itu masuk ke kamar Ravelo tanpa permisi. Mendaratkan tubuhnya pada ranjang Ravelo.
"Gak bosen apa lo belajar mulu?" celetuk Wildan melirik Ravelo yang duduk di depan meja belajar, membelakanginya. Tangan kanannya memutar-mutar bolpoin, suatu kebiasaan jika ia sedang berpikir keras.
"Rav,"
". . ."
"Rav,"
". . ."
"Nyuk." Wildan yang tak kunjung mendapat sautan sontak melempar kulit kacang mengenai tengkuk Ravelo.
"Berisik, tai," ketus Ravelo tanpa mengalihkan pandangan dari buku soal fisika.
"Main yuk," ajak Wildan.
Ravelo melempar buku kumpulan soal yang cukup tebal. "Belajar. Ujian tinggal menghitung hari. Mau jadi apa lo besok lulus?"
"Udah kok. Kemarin gue udah belajar," balas Wildan mengembangkan senyum. "Lagian ya, mau ujian itu otaknya harus fresh. Nah, karena itu gue mau ngajak lo main. Main yuk!"
"Gak."
"Emm..., Clubbing?"
"Gak."
"Nongkrong?"
"Gak."
"Date?"
"Gak."
"Sama Tabita?" lanjut Wildan.
"Gak."
Wildan terkekeh, ia meletakkan ponselnya dihadapan Ravelo. "Yakin?"
Ravelo melirik layar ponsel yang masih menyala menunjukkan room chat dengan seseorang. Kemudian ia kembali berkutat pada bukunya, seakan tak peduli.
"Pergi aja sendiri."
"Keliatan jomlo dong gue?" cibir Wildan. "Udah buruan siap-siap. Gue tunggu dibawah, lima menit." Wildan menepuk bahu Ravelo. Lalu berbalik keluar kamar.
"Gak usah dandan," imbuh Wildan menyembulkan kepala dari balik pintu kamar.
Ravelo melempar buku bertepatan dengan pintu kamar yang di tutup kencang. Ravelo mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Ia beranjak, meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku setelah duduk berkutat dengan buku selama berjam-jam. Satu desahan lolos dari bibir tipisnya. Yah, sepertinya ia memang butuh refresing sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravelo [COMPLETED]
Teen FictionKata mereka, masa lalu tidak akan pernah bisa di ulang. Apalagi dengan orang yang sama. Tidak akan seindah dulunya. Hingga suatu hari kedua orang tuanya memaksa Ravelo pindah sekolah dari Jerman ke Indonesia. Tanpa sepengetahuan Ravelo, Kedua orang...