Menindaklanjuti rencana liburan mereka, Ravelo, Tabita, Zafran, Aurel, Fay, Wildan, Alvan, dan Alvin membuat janji untuk berbelanja barang kebutuhan mereka selama liburan.
Tabita tengah bersiap di depan cermin. Kembali teringat hari kemarin. Segala olokan teman-temannya yang ditanggapi serius oleh Ravelo, dan perilaku Ravelo yang tidak wajar. Sifat cueknya tiba-tiba menghilang dan berganti penuh perhatian. Walaupun masih saja menyebalkan.
Tabita memegang dada. Merasakan detak jantungnya semakin cepat.
"Gue kenapa, sih?" gumamnya terkekeh pelan.
Ia meraih ponselnya di atas nakas. Menghubungi nomor seseorang.
💍
Wildan masuk ke dalam kamar Ravelo. Menghampiri Ravelo yang tengah duduk di kursi sambil membaca buku sains tebal. Wildan sempat terheran mengapa orang-orang jenius seperti Ravelo masih saja memusingkan diri dengan belajar disaat mereka sudah lulus SMA. Sementara ia mulai bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarganya.
"Gimana sama Tabita? Dia udah tau belum?" tanya Wildan.
"Buat apa dia tau," balas Ravelo tak mengalihkan pandangan dari buku tebalnya.
"Eh, bego. Ya pentinglah dia tau. Menurut gue sekejam-kejamnya Tabita sama lo, dia sebenernya masih ada rasa sama lo."
"Ngaco lo."
"Lo gak inget gimana reaksinya kemarin waktu digodain? Lo juga cerita sama gue gimana lo cium dia kemarin."
Ravelo menutup bukunya. Beralih menatap Wildan galak. "Gue enggak nyium dia!" sanggahnya
"Masa'?"
"Kemarin gue mau kasih tau dia. Tapi gagal."
"Kenapa?"
"Gue belum siap."
"Siap gak siap lo kudu jujur. Jangan sampai kejadian dulu ke ulang lagi. Belajar dari kesalahan lo, Rav," ujar Wildan.
Bertepatan dengan itu, ponsel Ravelo bergetar. Wildan melirik nama penelpon yang tertera pada layar ponsel.
"Nah kan. Panjang umur dia," kata Wildan "Angkat gih," suruhnya.
"Lo aja."
"Lo lah, dia nelponnya elo. Berarti butuhnya sama lo."
Ravelo ragu-ragu mengangkat.
"HEH, LAMA BANGET LO YANG NGANGKAT."
Ravelo menjauhkan ponselnya terkejut. Buset, cantik-cantik suaranya kayak kaleng rombeng.
"Buruan katanya mau jemput. Gue udah siap, nih."
Ravelo menyodorkan ponselnya pada Wildan. Cowok itu terkejut, mengomel tanpa suara. Tapi Ravelo memaksanya.
"Rav, lo denger gue kan?"
"Eh, anu Ta." Wildan bersuara. Melirik Ravelo dengan tatapan bertanya.
"Elo, Wil. Mana Rava?" tanya Tabita di seberang sana.
"I-ini. Ada-" Ravelo membekap mulut Wildan.
"Bilang gue lagi sakit. Gak bisa jemput," desisnya penuh penekanan.
Wildan menepis kasar tangan Ravelo. Menjauhkan ponsel dari daun telinganya. "Gila lo! Gue enggak mau bohong."
"Sok suci lo kayak gak pernah bohong. Buruan bilang!" desak Ravelo.
"Sori, Ta. Ini si Ravelonya agak gak enak badan. Kayaknya gak bisa jemput lo." Wildan meringis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravelo [COMPLETED]
Teen FictionKata mereka, masa lalu tidak akan pernah bisa di ulang. Apalagi dengan orang yang sama. Tidak akan seindah dulunya. Hingga suatu hari kedua orang tuanya memaksa Ravelo pindah sekolah dari Jerman ke Indonesia. Tanpa sepengetahuan Ravelo, Kedua orang...