Hai!
Semoga suka sama ceritanya ya,
Happy reading. Enjoy!!.
..
"Asal lo tau, Bita tunangan gue. Berani lo sentuh dia, lo berurusan dengan gue."
-R💍
Suasana tenang dan damai di dukung musik instrumental yang terdengar sayup-sayup menyambut pengunjung kafe. Diluar sana, alam sedang menitikkan air mata. Suara klakson kendaraan bersautan membuat ricuh jalan raya. Para pengendara itu tak sabaran ingin menerobos lampu merah.
Seorang gadis berambut panjang dengan kardigan biru muda tengah duduk sendiri di temani secangkir kopi caramel hangat dan kue muffin coklat. Earphone terpasang di kanan kiri daun telinganya. Ia menghela nafas, tersenyum tipis ketika indra penciumannya menangkap aroma harum kopi. Tangannya mulai menari di atas laptop pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya ke enam belas, menciptakan untaian demi untaian kata bersajak indah penuh makna.
"Bita," panggilan lirih itu membuat Tabita mengalihkan pandangannya dari laptop. Ia terperanjat saat melihat siapa yang kini duduk di depannya.
💍
Dua sejoli itu menggigil tatkala sampai di pintu masuk kafe setelah menerobos hujan tanpa mantel. Hujan tiba-tiba mengguyur saat mereka tengah berdebat menentukan pilihan tempat makan usai menonton pertunjukan sulap.
"Dingin," keluh Maya menggosokkan kedua tangannya.
Ravelo merapatkan jaketnya, kaos tipis berlapis jaket kulit tak cukup menangkis hawa dingin malam ini.
"Dih, gak peka," cibir Maya cemberut.
Ravelo melirik. "Salah siapa gak bawa jaket."
"Mana aku tahu bakal turun hujan," balasnya.
Ravelo mendengus. Maya terlihat menggigil, bibirnya pucat. Meski enggan, Ravelo akhirnya menanggalkan jaket dari tubuhnya dan menyisakan kaos merah tipis. Melempar benda itu hingga mengenai wajah Maya.
"Pakai!"
Senyum gadis itu mengembang. Segera mengenakan jaket beraroma maskulin itu pada tubuh mungilnya. Sekarang, giliran Ravelo yang merasakan bulu kuduknya berdiri. Maya tak kunjung menyudahi lengkungan indah di wajahnya.
"Kenapa?" tanya Maya saat Ravelo berhenti di depan pintu masuk kafe.
"Lo yang kenapa kayak orang gila gitu," tanya balik Ravelo.
Maya kembali tersenyum. "Malam ini menjadi malam terbaik bagiku. Aku bahagia, meski sejenak. Makasih, Ravelo."
Ravelo menaikkan alisnya, ia mangut-mangut mendengar penuturan Maya.
"Laper," katanya sambil mengelus perutnya.
Maya tertawa. Mencubit lengan Ravelo gemas. Keduanya memasuki kafe. Pintu kafe yang terbuka menimbulkan suara bel. Maya dan Ravelo segera berpencar. Ravelo bertugas mencari tempat duduk yang nyaman, sementara Maya mengantri untuk memesan. Rupanya mereka telah cocok jika menjadi sepasang kekasih.
"Lepas!"
"Aku gak akan macam-macam. Kita perlu bicara."
"Enggak. Lepasin!"
Sayup-sayup Ravelo mendengar perdebatan yang di duga terjadi antara laki-laki dan perempuan. Entah dorongan dari mana Ravelo tertarik mengetahuinya. Ia menyipitkan matanya melihat sepasang sejoli yang tengah adu mulut. Tidak hanya Ravelo, kejadian drama itu juga menyita perhatian sebagian pengunjung kafe. Tapi tidak ada yang berani ikut campur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravelo [COMPLETED]
Подростковая литератураKata mereka, masa lalu tidak akan pernah bisa di ulang. Apalagi dengan orang yang sama. Tidak akan seindah dulunya. Hingga suatu hari kedua orang tuanya memaksa Ravelo pindah sekolah dari Jerman ke Indonesia. Tanpa sepengetahuan Ravelo, Kedua orang...