54. [THE END]

6.5K 281 96
                                    

"Kita mau kemana sih, Rav?” seru Tabita di boncengan motor Ravelo. Rasanya mereka telah berkendara tanpa henti. Jalannya pun semakin menanjak. Sementara Ravelo tidak mau menjelaskan tujuannya.

Setelah menunggu semua temannya tertidur, Ravelo berencana mengajak Tabita ke suatu tempat dengan meminjam motor matic milik tukang kebun yang menjaga villa. Meskipun agak susah membujuk Tabita yang malas gerak kalau sudah bertemu kasur. Tapi Ravelo tidak putus asa. Ini adalah malam terakhir mereka di kota istimewa Jogjakarta. Jadi, Ravelo ingin menunjukkan sesuatu pada Tabita sebelum mereka kembali ke Jakarta.

“Sampai," ujarnya.

Ravelo menghentikan motornya. Ia turun lalu melepaskan helm Tabita.

“Ini dimana? Gelap banget.” Tabita mengedarkan pandangan. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya tebing dan pepohonan yang menjulang tinggi. Tidak ada penerangan yang lebih baik daripada lampu jalan temaram.

“Ayo,” ajak Ravelo bersemangat.

“Serem, Rav. Balik aja yuk.” Tabita bergidik. Merapatkan jaketnya, menghalau hawa dingin membelai kulitnya.

Saat berbalik, ia tidak melihat Ravelo lagi disampingnya. Cowok itu sudah melangkah lebih dulu.

“RAV! Tungguin ih," serunya.

Tabita menyusul Ravelo yang sudah melengos duluan. Ia lupa atau bagaimana kalau mengajaknya kesini?

Ravelo tiba di tempat lebih tinggi. Ia tersenyum tipis, menarik nafas dalam lalu menghembuskannya. Mangut-mangut melihat pemandangan dihadapannya.

Tabita berusaha memanjat untuk sampai di samping Ravelo. Ia berdecak kala melihat Ravelo yang tidak peka.

“Rav!" panggil Tabita merengut kesal.

Ravelo menoleh, tertawa pelan melihat Tabita kesulitan untuk naik. “Sori lupa,” katanya sambil menjulurkan tangan. Membantu Tabita memanjat batu yang sekarang menjadi pijakannya.

Tabita sampai di sebelah Ravelo. Menepuk-nepuk celana jeansnya yang kotor terkena tanah. Alis Tabita bertaut, sejauh mata memandang Tabita hanya melihat langit malam yang gelap. Tidak ada bintang atau sang dewi malam.

Ia menolah pada Ravelo. “Lo maksa gue ikut malem-malem cuma buat manjat tebing? Mending gue tidur, Rav,” dengus Tabita.

Ravelo geleng-geleng kepala. Ia memegang kepala Tabita lalu mengarahkannya ke bawah.

“Welcome to Bukit Bintang in Yogyakarta,” bisiknya.

Tabita melongo. Melihat pemandangan indah yang terpampang di depannya. Namanya Bukit Bintang, tapi bukan gemerlap bintang yang Tabita lihat. Melainkan gemerlap lampu yang berasal rumah-rumah penduduk dan jalanan kota. Dari sini Tabita bisa melihat seluruh penjuru kota Yogykarata yang semakin malam semakin menakjubkan.

“It’s beautiful place,” decak Tabita terkagum.

“Masih mau ngomel lagi?” cibir Ravelo.

“Ish.” Tabita memukul pundak Ravelo pelan. Membuat cowok itu terkekeh ringan.

Ia memejamkan matanya. Menikmati semilir angin malam yang berembus menerbangkan helaian rambutnya. Disampingnya, Ravelo bahkan tak bisa mengalihkan pandangannya dari Tabita. Menatapnya lamat-lamat seakan sedang menyimpannya dalam memori.

"Itu mata minta di colok ya. Liatinnya gak bisa biasa," sindir Tabita menoleh pada Ravelo.

Ravelo menarik senyum, mengalihkan pandangannya ke depan. Bahagia baginya sesederhana ini, cukup dengan berada di samping gadis itu dan melihat senyumnya. Apalagi menjadi alasannya tersenyum.

Ravelo [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang