44.

2.9K 214 41
                                    

"Ta, soal semalam, gue minta maaf.”

Tabita menghentikan pergerakan tangannya yang ingin menyuap sesendok soto. Ia menatap Ravelo yang juga menatapnya demikian.

“Semalam, lo hampir mukul gue, Rav. Kalo lo lupa.” Tabita menuding Ravelo dengan sendok di  tangannya.

Ravelo mangut-mangut. “Jujur, gue marah karena lo dengan mudah maafin Excel. Gue pikir lo gak adil.”

“Memaafkan perkara mudah, Rav. Tapi mengikhlaskan, itu tantangan terberatnya,” balas Tabita.

“Jadi, apa yang belum bisa lo ikhlaskan dari gue?” tanya Ravelo menaikkan sebelah alisnya.

“Banyak. Jangan tanya sekarang. Biarin gue selesai makan dulu.” Tabita melanjutkan makannya.

Ravelo menghela nafas untuk kesekian kalinya. “Sori, Ta.”

“Maaf aja gak cukup.”

“Gue harus apa? Beliin lo arum manis lima?”

Tabita tersenyum penuh kejahilan. “Nanti juga lo tau.”

💍


Siapa sangka maksud ucapan Tabita sewaktu di warung soto adalah kebun binatang. Ravelo mengedarkan pandangan pada sekeliling. Ramai. Mayoritas pengunjungnya adalah mereka yang sudah berkeluarga dan membawa anak-anak mereka.

“Lo mau ngunjungi kembaran lo?” tanya Ravelo spontan. Lantas menutup rapat mulutnya seraya merutuki kebodohannya.

“Sembarangan.”

“Udah lama gue gak kesini. Mumpung ada yang bayarin, ya udah kesini,” ujar Tabita.

“Siapa yang bayar?”

“Elo.”

“Gue?” beo Ravelo.

“Kenapa, gak mau?” picing Tabita.

Ravelo menggeleng. Persis seperti suami-suami takut istri. Ah, bukan, tapi—mantan-mantan takut doi.

Setelah Ravelo membeli tiket. Tabita lebih dulu masuk diikuti Ravelo. Pertama, mereka melewati jenis-jenis ular. Disana disediakan spot foto bagi para pengunjung yang ingin berfoto dengan ular raksasa.

“Foto, yuk!” ajak Tabita.

“Gak,” tolak Ravelo mentah-mentah.  “Anak kecil semua.”

“Justru itu. Anak kecil aja berani, masa’ kita enggak.”

“Ya udah lo aja sendiri.”

Tabita memicing, lalu menjentikkan jari. “Oh, gue tau. Lo takut ya."

“Enggak. Mana ada gue takut.” Ravelo beralih duduk di bangku bawah pohon.

“Takut ya,” goda Tabita tak henti-henti. “Ayolah, temenin gue.”

“Gue tunggu sini.”

“Gak mau. Harus ikut. Atau gue gak jadi maafin lo,” sergah Tabita. “Kalau gue gak maafin lo, gue ngadu ke Bang Gael kalau semalam lo mau mukul adik tersayangnya. Terus gue juga gak mau ketemu lo lagi.” Tabita bersedekap. Bibirnya mengerucut sebal.

“Seram amat.”

“Mangkanya temenin.” Tabita menarik paksa Ravelo.

“Mau foto sama ular yang mana, mas?” tanya si pawang ular ketika melihat kedatangan Ravelo dan Tabita.

“Yang paling besar. Yang paling buas juga boleh,” jawab Ravelo setengah hati.

Pawang ular itu memberikan ular paling besar berwarna kuning ke leher Ravelo. Sudah siap duduk sambil berkalung ular, Ravelo justru melihat Tabita berdiri agak jauh darinya.

Ravelo [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang