Wajib baca Athor note dibawah. Penting!!
...
Aku salah ketika menganggapmu kembali untuk mengulang. Nyatanya kamu kembali untuk menggores luka lama yang sudah lama sembuh.
-Tabita Deora Cadence💍
"Wih, tumben pulang cepet," ujar Gael melihat adiknya membuka pintu rumah sebelum adzan dhuhur berkumandang. Biasanya juga Tabita pulang sore.
Tabita tidak menggubris. Menaiki anak tangga menuju kamarnya dengan langkah menghentak-hentak.
"Lho lho , dek!" seru Gael.
Brak
"E anjir anjing, bangsat," latah Gael terkejut mendengar bantingan pintu kamar Tabita.
Di dalam kamar Tabita menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Dalam posisi tengkurap dan bantal yang menutupi wajahnya. Menahan isakan yang sejak tadi ia tahan. Kata-kata Maya dan Ravelo terus berkelebat dalam benaknya.
Tangisnya semakin kencang terdengar mendominasi ruang kamar bernuansa biru laut. Ketukan pintu terdengar berkali-kali diikuti suara Gael yang memanggil-manggil nama adiknya dengan nada khawatir.
"Dek, lo kenapa?" tanya Gael dibalik pintu.
"Lo nangis?"
Masih tidak ada sahutan. Gael mengetuk pintu lebih keras.
"Sini cerita sama abang. Biarin abang masuk ya," bujuk Gael.
Ketukan pelan itu semakin keras. Gael mulai tidak sabar.
"DEK!" teriak Gael membahana.
"HE ANYING. WOI. BUKA GAK!"
"BERISIK, BANG," suara jawaban akhirnya terdengar. Gael sedikit menghela nafas lega.
"MANGKANYA BUKA PINTUNYA!"
"Gue gak nangis, gue mau tidur, ngantuk!"
"Bohong!"
Tabita mengusap kasar sisa-sisa air mata di pipinya. Menghirup nafas banyak-banyak lalu menghembuskan dalam sekali hentak. Tabita kemudian beranjak membuka pintu kamar.
"Apa? Gue mau tidur," kata Tabita terdengar serak usai sesenggukan menangis.
Gael menangkup wajah Tabita dengan kedua tangannya. Mengecek kedua mata Tabita. "Tuh, kan bener lo nangis," celetuk Gael.
Tabita menyingkirkan tangan Gael. "Gue lagi males ribut sama lo, Bang. Jadi mending lo pergi dan biarin gue tidur dengan tenang."
"Haish, siapa yang mau bikin ribut. Gini-gini gue pengertian tau," pungkas Gael. Ia menerobos masuk kamar Tabita
Tabita memutar bola matanya. Kakaknya itu duduk di tepi tempat tidur, menepuk-nepuk pahanya.
"Sini, katanya mau tidur."
"Apaan, sih. Bang. Gue bukan anak kecil-"
"Banyak bacot, deh. Buruan sini!" paksa Gael.
Mau tak mau Tabita menurut. Tidak ada gunanya melawan Gael yang keras kepala sama sepertinya.
"Tidur," titah Gael.
"Gue bukan anak kecil lagi, Bang." Tabita mengulang kalimatnya.
"Siapa yang bilang lo anak kecil." Gael meletakkan kepala Tabita di pangkuannya. "Adek abang kan udah besar. Udah bisa nangis karena cowok," ujar Gael mengusap surai Tabita penuh sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravelo [COMPLETED]
Teen FictionKata mereka, masa lalu tidak akan pernah bisa di ulang. Apalagi dengan orang yang sama. Tidak akan seindah dulunya. Hingga suatu hari kedua orang tuanya memaksa Ravelo pindah sekolah dari Jerman ke Indonesia. Tanpa sepengetahuan Ravelo, Kedua orang...