Double A | BAB 59.

7K 150 3
                                    

Hujan tidak bodoh! Ia hanya menjalankan takdir yang telah di tetapkan untuknya dan menjalaninya dengan sepenuh hati."
(Double A~)

Mobil Azmi berhenti di depan tanah lapang yang luas, tepatnya pada parkiran pemakaman umum yang ia kunjungi.
Matanya memandang kedepan, namun tatapannya kosong. Melihat wajah Azmi, Annia menghela nafas berat, ia tahu keadaan isi hati Azmi tengah buruk sekarang. Azmi mengetuk-ngetukkan jarinya pada Setir mobil, ia menetralisirkan rasa di dalam hatinya yang tengah bergulat.

"Kak, kalau gak bisa juga gak papa. Kita pulang aja ya," ucap Annia mengusap pundak Azmi, ada perasaan tak enak hati muncul seketika. Azmi pun menghela nafasnya pelan.

"Tidak apa-apa kok," jawabnya, membuka pintu mobil dan menghampiri pintu sebelah untuk membukakan pintu untuk Annia. Annia menatap mata indah Azmi yang kini tengah membukakan pintu untuknya, terlihat kesedihan tersirat dari mata cokelat itu. Bibir Azmi mendadak pucat, entah itu perasaan Annia atau memang sebenarnya begitu.
Setelah Annia turun dari mobil, Azmi mengunci mobilnya dan melangkahkan kaki menuju makam orang tuanya, makam seseorang yang lebih dari seorang pahlawan, atau lebih dari segalanya. baginya.

Dua gundukan tanah liat yang dihiasi dengan bunga-bunga yang telah mengering itu saling bersebelahan, terletak di bawah sebuah pohon besar yang daunnya tak lagi rimbun.

Lutut Azmi melemas saat ia melihat makam orang tuanya, ia duduk bersimpuh di sebelah makam Tuan Hidranata.

"Ayah, Azmi datang untuk menjenguk kalian bersama menantu tersayang kalian." batin Azmi dalam hati.

Perlahan tapi pasti, air mata Azmi mengalir begitu saja. Annia yang masih tak percaya melihat apa yang ada di hadapannya itu kini terperajat melihat suaminya yang tengah mengusap pipi yang dibasahi oleh air mata, dengan cepat Annia mengusap punggung Azmi.

"Yah,.. Maafkan Azmi." lirih Azmi dengan menatap papan yang bertuliskan nama ayahnya yang telah tiada.

"Azmi terlalu cuek sehingga Azmi tidak menyadari betapa sayangnya Ayah kepada Azmi,"
Lirih Azmi lagi, pelupuk matanya yang telah siap menumpahkan air mata itu kini telah menyelesaikan tugasnya. Azmi menangis tersedu-sedu.

Flashback on

Beberapa hari lalu, Azmi pulang ke rumah orangtuanya yang kini disinggahi oleh Chika. Dengan sengaja Azmi memasuki kamar orangtuanya yang sudah lama sekali tidak pernah ia masuki, bahkan ia telah lupa kappam terakhir ia masuk kesana. Azmi duduk di atas kasur berseprai putih bersih milik orangtuanya, ia memandangi pantulan bayangannya yang terdapat pada cermin di depannya. Entah mengapa bibir Azmi membentuk lengkukan ke atas, membentuk sebuah senyum walau hanya senyum kecil yang lebih mendominasi senyum kecut.

"Mirip sekali," ucap Azmi kepada dirinya sendiri. Wajahnya memang sangat mirip kepada tuan Hidranata, hingga semasa kecilnya selain mendapat julukan 'Tuan es', Azmi juga mendapat julukan 'Fotocopian Hidranata kecil'.

Iseng Azmi membuka laci nakas yang ada di sebelah kasur itu, dilihatnya bahwa laci itu menggunakan kunci pengaman model pasword.

Dengan Iseng lagi Azmi memasukkan nama ayahnya, namun salah. Nama tante Sinta pun juga begitu. Hingga semua hal yang menurutnya mazuk akal pun salah. Azmi menyerngitkan keningnya, tangannya bergerak mengotak-atik tolbol kunci pengaman dan berhasil.
Pasword yang ia gunakan adalah namanya!!

Dengan perlahan Azmi membuka laci bewarna silver itu. Saat telah berhasil terbuka, Azmi menemukan secarik kertas di atas tumpukan surat-surat penting milik orangtuanya.
Tangan Azmi bergerak meraih kertas yang sudah mulai menguning itu, mata Azmi bergerak liar melihat goresan-goresan tinta yang terukir di atas kertas itu.

D o u b l e A | TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang