Asap rokok mengepul diatas udara. Seorang pria paruhbaya menggoyang-goyangkan kursi kekuasaan sambil melihat hasil laporan yang diberikan oleh orang kepercayaannya.
Kepalanya mengangguk mengerti, bibirnya kembali menyesap benda panjang tersebut kemudian mengeluarkan asap. Mata tajam itu mengintimidasi pria yang berdiri didepannya sebelum membuang puntung rokok sembarangan.
"Jadi gadis itu pindah sekolah?"
"Iya Tuan."
"Pantas saja orang suruhanku di SMA Garuda tidak bisa menemukannya. Sial!" Geram Sergio.
Lelaki paruhbaya yang bernama Sergio itu bangun dari kursi kebanggaannya. Dia berjalan mendekat kearah Rio yang tidak lain adalah kepala dari semua anak buahnya. Sergio sangat suka dengan kinerja pria paruhbaya yang usianya tiga tahun lebih muda darinya itu. Semuanya bisa Rio lakukan dengan tangan dinginnya, termasuk membunuh dua orang yang amat penting dihidup sang musuh. Sadewo.
Tapi kali ini Sadewo sepertinya memiliki tangan kanan yang handal. Tidak tau kenapa semua orang yang diincar kematiannya oleh Sergio seakan hilang ditelan bumi. Walaupun begitu dia yakin mereka masih hidup dan bersembunyi disuatu tempat.
"Lalu dimana gadis itu sekarang?"
"Dia bersekolah di SMA Tunas Bangsa Tuan."
Sergio mengusap dagunya lembut, "Apa rencana selanjutnya?"
"Saya sudah mengirimkan seseorang kesana. Dia adalah keponakan saya sendiri."
"Apakah kamu yakin kalau keponakanmu itu bisa diandalkan?"
"Sangat yakin Tuan. Dia adalah anak dari seorang Tentara, dia sangat kuat seperti Ayahnya."
Sergio berjalan santai melewati Rio. Matanya menerawang dengan pikiran yang terus berkecamuk dalam bayangan. Seakan ingin semuanya berakhir dan mata Sergio bisa melihat secara langsung bagaimana Sadewo hidup dengan segala kesensaraan. Yah, seperti yang dia rasakan dahulu.
"Apakah gadis itu bisa segera mati?"
"Saya tidak yakin Tuan."
Sergio geram. Dia melangkah mendekat kearah Rio sebelum memberikan satu bogeman mentah disana. "Kamu sendiri yang bilang kalau keponakanmu itu bisa diandalkan!"
"Masalahnya gadis itu kembali mengubah penampilannya, keponakan saya masih mencari sosoknya dari foto yang saya berikan."
"Bodoh! Lalu bagaimana kamu yakin kalau dia pindah sekolah di SMA Tunas Bangsa?!"
Rio menyeka darah disudut bibirnya, "Karena gadis itu meng-upload foto terakhir di Instagram beberapa hari setelah menghilang dari SMA Garuda. Dan foto yang diambilnya adalah salah satu koridor sekolah di SMA Tunas Bangsa."
"Bagaimana kamu tau?"
"Mungkin gadis itu tidak menyadarinya. Koridor yang dia foto menunjukkan satu ruangan dengan tulisan papan 'Ruang kepala sekolah SMA Tunas Bangsa' walaupun tulisan itu kecil karena jarak. Tapi saya tau kalau memang begitu tulisannya."
Sergio memijit pelipisnya yang terasa berdenyut nyeri. Gadis itu tidak sebodoh dia kira. Setiap dia menemukan keberadaannya, gadis itu menghilang dan kembali ditemukan dengan penampilan berbeda.
Empat tahun yang lalu, tepatnya saat gadis itu duduk dibangku kelas tiga SMP. Dia adalah gadis berambut pendek dengan sifat ceria, banyak kawan, dan bersifat terbuka.
Dikelas satu SMA dia melanjutkan study di SMA Trisakti. Penampilan serta sifatnya berubah. Dia menjadi bad girl dengan kenakalan diatas rata-rata. Suka gonta-ganti pacar, bahkan dia berani melawan guru yang menegurnya.
Satu tahun kemudian ketika dia naik ke kelas XI, gadis itu berpindah tempat di SMA Garuda. Dia kembali mengubah penampilan dan sifatnya. Dandanannya cupu dan memiliki sifat pendiam. Tak banyak orang yang mengenalnya disana, dia tak sepopuler ketika di SMA Trisakti.
Dan sekarang untuk terakhir kalinya gadis itu bersembunyi di SMA Tunas Bangsa. Sergio menjamin itu adalah terakhir kalinya dia bisa bersembunyi. Pria paruhbaya itu sudah sangat muak dipermainkan selama bertahun-tahun.
Dia akan segera mendapatkannya lalu membunuhnya. Menuntaskan dendam yang kian lama semakin membara karena tak bisa menggapai tujuan. Sergio tidak akan berhenti sebelum Sadewo hancur lebur.
Sergio kembali menduduki kursi kekuasaannya, "dan sepertinya kita harus beralih pada rencana B. Menghancurkan Istri Sadewo."
*****
Sebuah troli bergerak menyusuri rak-rak yang berisi makanan. Eva melirik jam yang melekat ditangannya, jam 20:30. Dia harus segera menyelesaikan acara belanjanya sebelum jam 21:00, karena sepermarket tempatnya berbelanja sekarang akan segera tutup.
Gadis itu mengambil beberapa kaleng sarden, satu kotak susu, roti, sayuran, mie instan, dan masih banyak lagi. Membuat troli yang dibawanya hampir menyerupai gunung.
Eva berjalan kearah minuman, berbelanja dalam waktu kilat membuat dirinya dehidrasi. Dia butuh minum sekarang. Hingga tatapannya tertuju pada satu botol minuman yang nampak menyegarkan, koplit dengan embun yang menetes diluar botol.
Dengan sekali meneguk ludah, Eva langsung saja mengambil botol minuman itu yang memang hanya tersisa satu. Tapi ternyata bukan dirinya saja yang menginginkannya, seseorang disebelah Eva juga memegang botol yang sama dengannya.
"Kak Arvin?"
"Alexa?" Arvin menunjuk kearah Eva.
Eva tersenyum lebar sambil mengangguk mantap. "Kak Arvin udah sehat? Maaf aku gak bisa jenguk lagi waktu itu."
"Gakpapa. Gue hanya sebentar kok di rumah sakit kemarin. Gak begitu parah juga." Arvin menggidikkan bahu santai.
Eva terkekeh menonjok pelan bahu Arvin, "Sombong! Mentang-mentang kuat trus yang kepalanya sampai diperban dibilang luka kecil."
Arvin ikut terkekeh.
"Kak Arvin kok beli bahan-bahan buat masak sih. Mamanya lagi repot ya?" Eva melirik troli milik Arvin.
Mendengar penuturan Eva membuat Arvin tersenyum getir, dia kembali memasukkan satu bungkus garam dalam troli sebelum kembali berjalan menuju rak lain yang diikuti oleh Eva.
"Nyokap gue itu jalang Al. Kalau malam gini waktunya dia siap bekerja."
"Kak Arvin! Gak boleh begitu bicaranya."
Arvin tertawa sedih, "Lalu gue harus bicara gimana Al? Kenyataannya Nyokap gue memang seorang jalang."
"Dia gak pernah ada waktu buat gue. Dia cuman pulang untuk melempar banyak uang haram pada gue lalu kembali pergi ninggalin gue sendirian."
Haruskah Eva percaya? Tapi tatapan Arvin mengatakan bahwa semua itu memang benar, lagi pula dia juga sudah mengetahui bahwa Bunda Arvin adalah wanita penghibur Papanya Vano. Dan entah kenapa hati Eva ikut bergetar nyeri karenanya.
"Kak---"
"Gue duluan ya. Dilanjutin gih belanjanya, udah mau tutup ini." Arvin menunjukkan jam yang melekat ditangannya pada Eva.
Padahal yang sebenarnya terjadi dia tidak mau terlalu lama dekat dengan Eva. Gadis itu seperti memiliki magnet tersendiri untuk menarik Arvin mengungkapkan semua isi hatinya, membuat dia malah terlihat seperti seorang cowok lemah dan menyedihkan didepan Eva.
Gadis itu menatap punggung Arvin yang berjalan menjauh. Dia menabok mulutnya yang asal ceplos pada cowok itu tadi. Padahal Eva sudah pernah melihat perdebatan ibu dan anak itu, tapi dia malah kembali mengungkit tentang Mamanya yang membuat mood Arvin turun seketika.
"Kenapa kamu bodoh banget sih Va!"
_______________
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lu-Gu (Selesai)
Teen Fiction"Larilah sekencang mungkin, sembunyilah ditempat yang lo suka. Dimanapun lo berada gue pasti bisa nemuin lo." "Karena apapun yang udah gue klaim menjadi milik gue gak akan pernah gue lepasin." Ini tentang Eva, yang menghabiskan sisa hidupnya untuk...