Arvin menyeruput kopi yang terlihat mengepul sambil memandang hujan dari balik kaca sebuah cafe. Setelah sekian lama tak ada hujan kini akhirnya rintikan air itu pun turun. Membuat semua orang yang menanti tersenyum bahagia. Terutama Arvin.
Seharusnya saat ini dia berada di kampus karena ada kelas. Tapi hujan menghalangi dirinya seakan ingin agar dia istirahat sejenak untuk melepas lelah ditengah beban hidup yang dia pikul. Hujan atau Tuhan tau semua itu.
Suara kursi berdecit. Arvin mengangkat sebelah alisnya kala mendapati seorang gadis duduk dibangku yang dia tampati. Dandanannya mencolok, ditambah baju mewah yang menambah kesan cantik untuknya. Tapi ada satu hal yang membuat pusat perhatian Arvin tertuju padanya. Ada perban yang melingkar dikepala gadis itu.
"Gue Bianca." Gadis itu mengulurkan tangan.
Arvin memandang tangan itu tanpa berniat menyambut. Tatapannya beralih pada mata indah milik Bianca, menatap dengan penuh keheranan keberadaan gadis yang nampak seperti bitch. Apakah gadis itu buta memilih Arvin sebagai mangsanya?
"Disini masih ada banyak bangku kosong." Sindir Arvin mengusir.
Bianca terkekeh. Diangkatnya satu tangan memanggil pelayan sebelum akhirnya memesan sebuah minuman. Dia menghiraukan tatapan cowok didepannya yang nampak ingin membunuhnya saat ini juga.
"Dendam yang belum bisa dituntaskan akan menjadi penyakit disini." Bianca menunjuk dada Arvin tanpa menyentuh.
"To the point aja. Apa maksud kedatangan lo kesini?"
Cewek itu mengangkat kedua bahunya, "Hanya menawarkan diri untuk bantu lo menuntaskan dendam."
Arvin memilih diam menunggu kalimat berikutnya sebelum memberikan cacian pada cewek bernama Bianca itu.
"Gue tau lo cinta sama Eva. Ups! salah, maksudnya Alexa."
Cowok itu menegakkan tubuhnya. Memandang Bianca dengan tatapan menyelidik. Siapa sebenarnya cewek itu? Dan bagaimana dia tau tentang perasaannya.
"Namun sangat disayangkan Alexa kini ada ditangan Alex."
Seketika Arvin membuang pandangannya keluar kaca kafe. Tentu saja dia tau akan hal itu. Dia sudah mengorek informasi tentang Eva semenjak keluar dari rumah sakit. Dadanya terasa sesak saat mengetahui bahwa gadis yang dicintainya adalah pacar dari musuh besarnya. Alex.
"Apa lo---"
"Berhenti ngurusin hidup gue." Ucap Arvin penuh penekanan.
Seorang pelayan datang membawa minuman Milk shake pesanan Bianca. Setelah mengucapkan terima kasih dan si pelayan telah pergi, cewek itu langsung menyeruput minumannya tenang.
"Gue hanya berbaik hati membantu." Ucap Bianca sambil mengaduk minumannya.
Arvin mendengus kesal. Dia bergerak memajukan wajahnya kearah Bianca yang nampak masih santai menanggapi.
"Gue gak butuh bantuan lo." Bisik Arvin.
Bianca meniup kukunya yang dia cat merah, memandang betapa indahnya tangan mulusnya karena selalu melakukan perawatan mahal.
"Kalau lo lupa gue akan ingatkan. Berawal dari mana Alex menjadi musuh lo. Alex mengambil paksa kebahagiaan satu-satunya yang lo punya. Bertahun-tahun, mungkin selamanya."
Bianca menjeda kalimatnya kembali meminum minuman didepannya. Sedangkan Arvin tetap saja memilih diam tak bersuara menunggu Bianca menuntaskan pembicaraannya.
"Dan sekarang saat lo kembali menemukan kebahagiaan baru, Alex kembali mengusik dengan mengambil Alexa jadi miliknya. Iya, Alexa sumber kebahagiaan baru lo itu."
Tangan Arvin terkepal kuat.
"Sampai kapan lo harus kalah atau lebih tepatnya mengalah?" Tekan Bianca diakhir kalimatnya.
"Cukup!" Bentak Arvin dengan nada pelan.
"Apakah Alex tau arti kalah mengalah apalah itu, yang lo rasain selama ini?"
"Gue bilang diam lo bitch!"
Sungguh Arvin mulai kewalahan menghadapi emosi yang meronta-ronta ingin dikeluarkan. Kalimat Bianca persis seperti belati yang menusuk hatinya yang sudah pernah terluka. Memberikan luka baru bahkan merambat membasahi luka lama yang terasa kembali perih.
Bianca tersenyum miring melihat mangsanya sudah mulai masuk kedalam perangkap.
"Oke, gue akan diam. Setelah mengatakan satu hal sama lo."
Bianca membenarkan posisi duduknya, matanya menatap serius kearah Arvin yang nampak berkobar marah.
"Ambil apa yang berhak jadi milik lo. Dan hancurkan Alex sama seperti dia menghancurkan kehidupan lo."
Lupakan tentang cewek bernama Bianca yang terobsesi mendapatkan Alex. Kini cewek dengan perban dikepala itu sudah memutar haluan tujuannya.
Setelah kejadian dimana Alex dengan tak memakai hati melempar dirinya menembus kaca jendela, disaat itu juga dewi kemarahan dalam diri Bianca berkobar. Tak ada belas kasihan bagi siapapun yang telah melukainya. Dia bersumpah akan membuat Alex hancur tepat pada waktunya.
"Udah? Pergi dari hadapan gue." Usir Arvin dengan nada dibuat setenang mungkin.
Bianca mengangguk, "Oke. Ini kartu nama gue. Hubungi gue jika lo membutuhkan bantuan yang tadi gue tawarkan. Gue masih membuka lebar pintu buat lo."
Bianca beranjak berdiri. Tersenyum sekilas pada Arvin sebelum melesat menuju kasir untuk membayar minumannya.
Arvin memejamkan mata erat. Hujan yang dia dambakan memberikan ketenangan nyatanya malah memberikan kelabu pada hatinya. Apa yang harus dia ambil?
Apakah dia harus menuntaskan dendamnya sama seperti yang dikatakan Bianca tadi atau membiarkannya mengalir seperti air yang membuat dia mati secara perlahan?
Arvin berhak bahagia. Dia ingin merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Entah kenapa untuk kesekian kalinya dia merasa menjadi makhluk paling menyedihkan didunia.
Disisi lain...
"Terima kasih." Bianca mengambil kotak kardus berisi pizza yang dia pesan.
Cewek itu memutar tubuhnya lalu berjalan menuju pintu keluar sambil membenarkan letak kotak pizza dalam kantong plastik.
Ting...
Langkahnya terhenti. Ada satu notifikasi dalam ponsel yang membuatnya mengurungkan niat membuka pintu kafe. Buru-buru dia membuka notifikasi tersebut dan didetik kemudian senyum sinis itu kembali terbit.
Dialihkan pandangannya menuju bangku paling pojok dekat kaca di kafe itu. Seorang cowok masih menikmati kopi yang sudah mulai mendingin sambil menatap pemandangan diluar kafe.
Setelah puas memandang, Bianca kembali melangkahkan kakinya keluar dari kafe dan pergi menuju parkiran.
_________________
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lu-Gu (Selesai)
Teen Fiction"Larilah sekencang mungkin, sembunyilah ditempat yang lo suka. Dimanapun lo berada gue pasti bisa nemuin lo." "Karena apapun yang udah gue klaim menjadi milik gue gak akan pernah gue lepasin." Ini tentang Eva, yang menghabiskan sisa hidupnya untuk...