BAB 12: Dalang

203K 14.7K 1.6K
                                    

"Bagaimana? Apakah semuanya aman?"

" ....... "

"Bagus. Terus pantau Alex dan jangan biarkan anak itu bertemu dengan dia."

" ........ "

"Tidak masalah. Anak itu hanya perlu menghindari satu orang di dunia ini."

" ......... "

"Oke. Terima kasih."

Seorang pria paruhbaya memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Sampai kapan dia harus melakukan semua ini? Dia lelah, tapi dia juga harus bertindak. Ini demi kebaikan semuanya. Dia tidak egois, itu yang diterapkannya dalam hati.

"Oh ... jadi semua ini Papa yang rencanain?"

Herman menoleh, "Alex? Habis dari mana kamu?! Ini sudah tengah malam."

Alex berdecak kesal, "Dari mana Alex itu gak penting Pa. Yang penting adalah kenyataan bahwa Papa dalang dari kegelisahan Alex selama ini."

Setelah mengantarkan Eva pulang tadi, Alex memang tidak langsung kembali ke rumah. Dia memilih nongkrong di cafe langganannya ditemani ketiga temannya yang sengaja dia hubungi sebelum menuju lokasi. Seharusnya ada empat orang, tapi sayang Chiko tak bisa ikut karena sudah terlebih dahulu ketiduran.

Itulah kenapa Alex bisa pulang tengah malam. Tapi siapa sangka kepulangannya mendapatkan kejutan seperti sedang ulangtahun. Bedanya kejutan itu bukan disertai terompet tapi petir.

Seorang Ayah, teladannya sedari kecil itu ternyata orang pertama dan paling utama yang membuat hidup Alex berantakan. Beliau adalah dalang dibalik hilangnya dia. Orang yang amat cowok itu sayang.

Herman memejamkan mata. Apapun yang Alex katakan, dia harus memiliki jawaban yang masuk akal.

"Papa bicara denganmu! Jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu dari mana dan kenapa jam segini baru pulang?!"

"Papa peduli?"

"Saya Papa kamu, jelas saya peduli."

Alex tersenyum miring meremehkan Herman, Papanya. "Benarkah? Apakah Papa tau dimana letak kebahagiaan anak Papa ini?"

Herman terdiam. Tangannya terkepal kuat menahan emosi yang sudah ingin meledak. Alex membahas hal sensitif itu lagi. Membuat dia tidak bisa berkutik untuk kesekian kalinya.

Cowok itu tertawa sinis, "Aku tau kalau Papa mengetahui dimana letak kebahagiaanku, tapi Papa gak mau mengabulkannya."

"Alex. Kamu bisa meminta hal lain dari Papa selain dia."

"AKU MAU DIA PA! ALEX MAU DIA! SEBERAPA SUSAHNYA PAPA MEMBERIKANNYA PADA ALEX?! BAHKAN PAPA TIDAK PERLU MENGELUARKAN UANG SEPESERPUN UNTUK MENDAPATKANNYA!!"

Napas Alex memburu, buku tangannya juga mulai memutih saking kerasnya dia menahan diri agar tidak menonjok Papanya saat ini juga.

Cowok itu memejamkan mata sejenak, menetralisir kemarahan dan kekecewaannya pada Herman. Dia kembali membuka mata menatap Herman dengan sorotan mata kecewa sebelum memutuskan pergi meninggalkan pria paruhbaya itu menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

Herman menatap pintu kamar Alex dengan tatapan nanar. Anak itu adalah anaknya, anak kandungnya. Dia yang mengadzaninya saat pertama kali lahir di dunia, dia yang mengajarinya berjalan, dia yang selalu bermain bersamanya disela padatnya pekerjaan kantor, dan dia juga yang selalu nasehati agar tidak gampang menyerah untuk mendapatkan sesuatu.

Tapi kata-kata itu malah menjadi bumerang untuk Herman sendiri. Anak yang selalu disayanginya sudah berani membentaknya hanya karena belum mendapatkan sesuatu yang dia inginkan selama tiga tahun yang lalu.

"Maafkan Papa Nak. Ini yang terbaik untuk kamu."

*****

Alex mengobrak-abrik kamarnya sendiri seperti orang kesetanan. Sudah lama dia mencari wanita itu, cinta pertamanya. Tapi ternyata kehilangannya sudah diskenario oleh Papanya sendiri. Pantas saja orang suruhannya selalu bilang kalau dia tidak bisa menemukan wanita itu hingga sekarang.

"Sial!" Alex menendang nakas disamping tempat tidurnya.

Semua orang yang dia mintai pertolongan tak pernah sekalipun bertindak. Alex lupa kalau mereka adalah bawahan Herman, tentu saja mereka akan menurut pada majikannya, bukan pada anak majikan yang tak pernah menggaji mereka.

Cowok itu mengambil beberapa alkohol yang sengaja dia sembunyikan ditempat tersembunyi didalam kamarnya lalu menegaknya rakus. Tak peduli jika minuman keras itu akan membakar tenggorokannya, Alex terlalu kecewa dengan semuanya. Siapa yang rela dipisahkan dengan seseorang yang amat dia cintai?

Ting...

Sebuah notifikasi masuk kedalam ponsel milik Alex. Dengan kepala sedikit sempoyongan cowok itu mencoba menggapai benda pipih yang tergeletak diatas sofa.

Alex mendengus kesal. Dia kira akan ada hal yang membuatnya sedikit menyunggingkan senyum, tapi ternyata suara notifikasi itu berasal dari aplikasi facebook yang mengatakan ada beberapa orang yang menyukai postingan yang dibagikan oleh Chiko. Tentu saja dia ditandai didalamnya.

Cowok itu kembali menegak Alkohol, sedangkan tangannya masih berkutik pada ponsel agar sejenak bisa melupakan rasa sakit hatinya.

Dia membuka aplikasi wattsapp. Disana ada beberapa pesan yang belum dibaca, dari grup chat sahabat-sahabatnya sampai para fans yang sama sekali tidak dia hiraukan. Alex terus menggeser layar kebawah hingga tatapannya terhenti pada satu pesan.

Sayang

Lex, kamu dimana?

Bibir itu tertarik keatas. Alex menyingkirkan botol alkoholnya, lalu tidur rebahan diatas lantai yang berlapiskan karpet. Dipencetnya gambar telepon pada layar atas, lalu menempelkannya ditelinga sambil memijit pelipisnya yang mulai nyeri karena kebanyakan meminum minuman keras itu.

"Hallo?"

"Belum tidur?"

"Kamu telpon jadi ... aku bangun."

Alex terkekeh mendengar penjelasan Eva yang ambigu, "Gak mau bilang gak bisa tidur gara-gara mikirin ciuman pertama tadi?"

"....."

"Sayang?"

"Kamu jangan ingetin, aku malu." Kata Eva dengan suara kecil.

Cowok itu menahan tawa sambil menggelengkan kepala, "Emang gue sengaja. Biar lo inget terus sama gue."

"....."

"Suaranya ilang lagi."

"A-aku mau buat mie rebus. Laper."

"Oh..." Alex kembali menegak minuman kerasnya.

".... Kamu mau?"

"Tentu. Gue akan ngulangin ciuman itu besok."

"Bukan itu. Aku lagi bicarain tentang mie rebus Alex..." ucap Eva dengan nada merengek.

Alex tergelak, ternyata asik juga mengerjai gadis lugu itu. "Kalau gue mau lo bakal anterin ke rumah?"

"....."

Cowok itu menegakkan tubuhnya, bersandar pada tempat tidur. Dia meringis merasakan kepalanya yang seperti ingin pecah karena bertambah berdenyut nyeri.

"Aku paketin?"

Alex terbahak, "Tidak ada tukang antar barang ditengah malam kayak gini sayang."

Disebrang sana Eva menepuk jidatnya beberapa kali membodohkan dirinya sendiri. Dia terlalu gugup menghadapi Alex. Bagaimana tidak, cowok dengan aura mengerikan itu tiba-tiba menelponnya dan mengajaknya ngobrol.

Ditambah lagi kejadian ciuman pertama tadi yang membuatnya terjaga disepanjang malam. Bayangan Alex terus saja bergentayangan dikepalanya, seakan memberi isyarat bahwa mulai sekarang dia tidak akan hidup dengan tenang.

"Lo bikin mie rebus buat lo sendiri aja. Kalau udah makan langsung tidur, jangan begadang kemaleman karena mikirin gue. Good night babe."







_______________

Bersambung....

Lu-Gu (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang