Angin malam berhembus menerpa rambut panjang itu. Sebuah tangan kekar membelainya lembut, tak membiarkan sehelaipun keluar dari kungkungannya.
Eva menggesekkan hidungnya yang dingin pada dada bidang Alex. Tidak tau kenapa cowok menakutkan itu bisa terasa nyaman ketika dia peluk. Semoga saja rasa seperti ini tidak akan berubah lagi menjadi ketakutan yang beberapa waktu lalu terjadi.
Hati Eva sedikit tidak rela ketika Alex menguraikan pelukannya. Mata kelam itu menatap manik coklatnya, tatapan yang sulit diartikan, membuat Eva kembali melangkah mundur karena takut.
Kedua tangan kekar Alex menangkup pipi Eva, memperingatinya agar tidak bergerak walau sedikitpun. Detak jantung gadis itu kini mulai berdetak dengan tempo cepat saat perlahan Alex mendekatkan wajah dengannya.
"A-alex?"
Bagaikan angin yang berlalu. Alex menulikan pendengarannya dan memilih meneruskan apa yang belum dia selesaikan.
Kini wajah mereka hampir tak memiliki jarak. Napas Alex berhembus hangat menerpa wajah Eva, hingga membuat bulu kuduknya meremang seketika. Mata itu terpejam dan didetik kemudian dia berhasil menempelkan bibirnya pada bibir mungil Eva.
Eva mematung dengan bola mata yang melebar. Napasnya pun terhenti seolah dirinya telah mati karena serangan jantung.
"Kenapa? Apakah tadi ciuman pertama lo?" Bisik Alex mengusap lembut bibir gadis itu.
Eva tidak menjawab. Lidahnya terasa kilu walaupun hanya untuk mengatakan satu kata saja.
"Sama. Tadi itu juga ciuman pertama gue, jadi kita impas. Okey sayang?" Alex kembali memeluknya sebentar sebelum kembali menguraikannya.
"Ada yang harus lo lihat dibelakang sana." Alex menyelipkan anak rambut kebelakang telinga gadis itu.
Sebisa mungkin Eva mengembalikan kesadarannya sebelum Alex mengatakan hal yang tidak-tidak kalau dia sudah mengagumi ketampanannya. Bisa merah tomat nanti pipinya.
Perlahan gadis itu memutar badan menatap kebelakang menuruti intruksi Alex. Pada saat bersamaan matanya menangkap hamparan luas yang menunjukkan pemandangan bintang darat. Dengan mulut sedikit terbuka dia melangkah keujung bangunan, Eva ingin memastikan apakah penglihatannya benar atau salah.
Dari atas sini Eva bisa melihat banyak cahaya yang nampak bergerak kesana-kemari, disertai bunyi klakson yang saling bersautan seperti menunjukkannya betapa rumit kehidupan dibawah sana.
Alex ikut melangkah mendekati Eva yang masih mengagumi keindahan kota dari atap gedung. Gadis itu terus menebarkan senyum bahagianya, dia sampai lupa kalau sebelumnya dalam mode takut karena Alex.
"Suka?" Alex memeluk tubuh Eva dari belakang.
"Suka, suka banget. Makasih." Eva menampilkan cengiran lucu kearah Alex yang berada dibelakangnya.
Eva kembali menatap keindahan kota didepannya. Dia tidak begitu sadar sedang bicara dengan siapa tadi, dia hanya ingin menikmati pemandangan yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. Cukup sederhana, tapi bernilai lebih baginya.
Disisi lain ada Alex yang merasakan hal aneh setelah Eva mengatakan terima kasih. Hanya sebuah kata tapi memberikan efek besar bagi orang yang mendengarkannya. Usahanya dihargai. Setelah sekian lama tak ada yang mengerti akan jerih payahnya, kini ada satu orang yang mengerti bahwa dia tengah berjuang. Eva menyadarkannya bahwa dia bukanlah sampah yang tak bermanfaat bagi siapapun.
"Sayang."
Eva kembali mendongak menatap Alex. Untuk pertama kalinya dia berani menatap manik mata Alex tanpa rasa takut. Apakah karena kejutan itu atau pelukan tadi? Yang pasti dia berharap manik mata kelam itu tak akan lagi membara dan membuatnya takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lu-Gu (Selesai)
Teen Fiction"Larilah sekencang mungkin, sembunyilah ditempat yang lo suka. Dimanapun lo berada gue pasti bisa nemuin lo." "Karena apapun yang udah gue klaim menjadi milik gue gak akan pernah gue lepasin." Ini tentang Eva, yang menghabiskan sisa hidupnya untuk...