BAB 21: Terlambat

175K 12.8K 865
                                    


Eva menatap pagar besi yang menjulang tinggi lalu mendengus kesal. Karena perdebatan Arvin dan Bundanya tadi kini dia ikut kena imbasnya. Sekarang gerbang sekolahan sudah tertutup sempurna. Sungguh seumur hidup dia tidak pernah terlambat sekolah sebelumnya.

Percuma saja Eva bernegosiasi dengan Pak Satpam penjaga gerbang. Dia sudah melakukannya berkali-kali tapi pria paruhbaya itu tidak kunjung mau membukakan gerbang. Jikalau Eva handal dalam hal memanjat mungkin dia akan menaiki pohon besar yang ada dibelakang sekolahan sekarang. Sayangnya gadis itu memiliki nyali seperti kucing, bisa memanjat tapi tidak bisa turun.

Dengan gontai Eva berjalan meninggalkan lingkungan sekolahan. Sepertinya kembali ke rumah bukan pilihan yang buruk. Dia bisa masak-masak atau kembali belajar untuk ulangan Sejarah yang diadakan besok.

"Mau kemana? Gak masuk?"

Suatu suara dibelakangnya membuat Eva mendongak dan menengok kebelakang. "Tito?"

"Udah berani bolos ya lo sekarang. Siapa yang ngajarin? Alex?" Tito menyedekapkan kedua tangannya didepan dada.

Eva berjalan menghampiri Tito sambil menghentakkan kaki kesal. "Aku enggak bolos. Pak Satpamnya aja yang gak mau bukain gerbang."

"Dan gak mau usaha apa gitu."

Eva menggeleng sebagai jawaban, "Mau manjat pohon dibelakang sekolah tapi aku lupa kalau gak bisa manjat." Ungkapnya lalu meringis.

Tito terkekeh kecil mendengar menuturan polos Eva. Gadis itu terlihat lucu karena keluguannya. Jelas saja kalau sahabatnya tak bisa berpaling dari gadis dihadapannya saat ini.

"Yuk masuk bareng gue." Tito menarik tangan mungil Eva kembali mendekati gerbang.

"Udah aku coba To. Tapi tetep aja Pak Satpamnya gak mau bukain." Bisik Eva sambil melirik Pak Satpam yang menyeruput kopi panasnya.

Tito tersenyum remeh menatap Eva, "Jurus lo kurang manjur sih. Lihat nih."

Cowok itu memegang dua sisi besi lalu menggoyangkannya kuat membuat Pak Satpam yang menikmati kopi panasnya tersedak. Dengan geram pria paruhbaya itu menghampiri dua sejoli yang nampak sedang saling pandang.

"Bukankah saya sudah bilang kalau ini sudah jam masuk. Saya tidak bisa----"

"Bukain atau nih cewek mati!" Tito mengarahkan golok tepat dileher Eva.

Eva sendiri kaget bukan main melihat aksi gila Tito. Mungkin seluruh sahabat Alex tidak ada yang waras, semuanya gila. Dia membawa golok dan diarahkan ke lehernya, apakah tidak ada cara lain yang lebih aman? Jika Eva bergerak sedikit saja kemungkinan besar lehernya akan tergores dan mengeluarkan darah.

"Eh--eh... jangan macam-macam! Itu nyawa loh." Pak Satpam ikut panik melihat golok yang mengkilat.

"Makanya bukain!" Bentak Tito.

"Iya-iya saya bukain."

Akhirnya mau tidak mau Pak Satpam membukakan gerbang dengan sangat lebar. Tito menuntun Eva masuk kedalam lingkungan sekolahan dengan posisi golok masih berada dilehernya. Sesekali dia melirik Pak Satpam dan memberi peringatan agar tidak mendekat.

"Dalam hitungan ketiga kita lari." Bisik Tito ditelinga Eva.

"Satu, dua, tiga. LARI!!!"

Tito menarik tangan Eva dan membawanya lari sejauh mungkin sampai Pak Satpam tak mampu mengejar. Keduanya berbelok melewati lorong-lorong kelas sambil sesekali menengok kearah belakang memastikan Pak Satpam tidak lagi mengejar mereka.

"Gila! Kamu bener-bener gila To. Apa gak ada cara lain selain yang tadi?" Ungkap Eva terengah dan dibalas oleh Tito dengan kekehan ringan.

"Sumpah! Kamu dapet golok dari mana? Ini sekolahan Tito, kamu bisa di skor kalau ketahuan bawa benda tajem." Tambahnya.

Lu-Gu (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang