Revan mendorong punggung Alex kuat, membuat cowok itu terjatuh diatas tanah.
"Apa gunanya lo lakuin semua ini, hah!" Kata Revan penuh emosi.
Pasalnya Alex kembali melakukan kegilaan yang membuat keempat temannya geleng kepala. Dia memancing emosi musuh tanpa sebab, lalu ketika musuh menyerang dia hanya diam saja tanpa melawan. Untung saja Tito tanpa sengaja melihatnya, buru-buru dia menghubungi ketiga temannya yang lain agar segera datang.
Alex menatap tanah dengan tangan terkepal. Wajahnya sudah penuh dengan luka yang kini mulai membiru. Tubuhnya terkulai lemas namun menciptakan rasa puas tersendiri dihatinya.
"Lo sakitin Eva setelah itu lo nyakitin diri lo sendiri, selalu begitu! Apa lo gak lelah?!"
"Kalau emang lo gak bisa lihat Eva tersakiti, lo jangan buat dia sakit! Lo itu sahabat tergoblok yang pernah gue punya."
Bagas mendorong dada Revan agar menghindar dari Alex yang sewaktu-waktu bisa meledak. Cowok itu sedang berada diambang kebimbangan sekarang. Karena memilih salah satu dari dua orang yang dicintai tak semudah membalikkan telapak tangan.
Keraguan membutakan mata Alex, dia terlalu bingung untuk percaya pada Mamanya atau Eva. Kedua wanita tersebut sangat Alex cintai, dia menginginkan mereka.
Berulang kali Alex ingin berdamai dengan Eva, berulang kali juga Mamanya mengingatkannya bahwa Eva bukan orang baik. Bahkan Mamanya sampai mengatakan jika Alex nekat balikan dengan Eva, dia akan menghilang dari kehidupan cowok itu selamanya.
Tentu saja Alex tidak mau kalau hal itu terjadi. Dia sudah menanti cukup lama dipertemukan kembali dengan Mamanya, dia tidak bisa jika harus terpisah lagi.
Walaupun sudah ditentang oleh Herman-Papanya agar tidak menemui wanita paruhbaya itu, tapi kenyataannya perintah itu seperti angin yang berlalu bagi Alex. Dia secara diam-diam selalu pergi ke gubug tua tempat Mamanya tinggal.
Setiap Alex ingin pergi kesana, terlebih dahulu dia bertukar ponsel dengan Bagas yang tentunya tidak dimodif khusus oleh Papanya menggunakan penyadap suara ataupun pelacak lokasi. Dan setelahnya menghubungi Mamanya kalau dirinya akan datang.
Pasalnya wanita paruhbaya itu tidak selalu ada di rumah, katanya. Mama Alex bercerita bahwa sekarang dia menjadi buruh cuci disebuah laundry. Mendengar hal itu tentu saja sebagai anak yang mencintai ibunya, dia marah besar. Bagaimana bisa seorang anak yang hidup dengan serba berkecukupan sedangkan ibunya penuh dengan kekurangan?
Alex memberikan salah satu kartu debit pemberian Herman pada Mamanya, namun tetap saja wanita paruhbaya itu mau menjadi tukang buruh cuci walaupun kartu debit sudah masuk kedalam kantongnya. Dia berkata ingin belajar mandiri, makan dari jerih payah sendiri.
"Kalau udah seperti ini lo berharap apa?! Mau Eva lihat lo babak belur terus obatin luka lo, yang pada akhirnya lo tolak mentah-mentah dengan nyakitin dia lagi. Lo itu---"
"Kalian gak tau apa yang gue rasain!" Teriak Alex penuh emosi.
Dia berusaha keras menghindari Eva atas permintaan Mamanya, namun gadis itu tetap saja nempel layaknya perangko. Membuat dia menggunakan cara lain dengan cara membully-nya.
"Kita tau!" Chiko yang sedari tadi tidak bersuara kini mengeluarkan suaranya, "kita semua tau apa yang lo rasain. Tapi lo nya yang terlalu goblok menyikapi."
"Gue---"
"Kalau lo bimbang, gak seharusnya lo stay disatu tempat! Lo harus melangkah dan cari tau siapa yang sebenarnya salah."
Alex menjambak rambutnya sendiri, "Gue terlalu takut jika salah satu dari mereka emang beneran buruk."
"Lah, anjing!" Umpat Tito.
"Tapi walaupun begitu gue udah tau bagaimana Eva sebenarnya. Dia murahan, dia mau-maunya aja dicium sama Arvin di club." Lanjut Alex.
"Eva kan udah bilang kalau dia dijebak Arvin." Ceplos Chiko.
Alex mendongak menatap Chiko. Dengan tertatih dia mencoba kembali berdiri lalu melangkah menghampiri Chiko yang nampak kelabakan.
"Dari mana lo tau Eva bilang gitu?" Mata Alex memandang serius kearah Chiko.
"Kan lo sendiri yang bilang." Kata Chiko ngawur.
Alex mengerutkan kening, "Kapan?"
"Waktu mabuk, jadi lo gak ingat. Bahkan lo bilang kalau lo kecewa sama Eva tapi masih ragu apakah Eva beneran dijebak atau enggak."
Chiko menghela napas lega saat melihat Alex menganggukkan kepala. Ternyata masalah jurus pengawuran dia bisa diandalkan. Apalagi yang diucapkannya ternyata yang sedang Alex rasakan saat ini. Memang sebuah kebetulan bagi dia.
Bagas mengelus dagunya nampak berpikir "Perasaan---"
"Kecoa!!!" Teriak Chiko menunjuk kearah bawah.
Seketika Bagas langsung saja melompat dan lari meninggalkan keempat temannya. Urusan kecoa dia adalah cowok paling penakut di kelas. Padahal cowok itu berani memegang ular, tapi kalau melihat kecoa sifat jantannya hilang seketika.
Chiko kembali menghela napas. Hampir saja Bagas membongkar semuanya. Kalau Alex sampai tau apa profesinya, dia akan mencekiknya sampai mati karena pernah memakan gaji buta hasil dari melindungi Eva.
"Mana kecoanya?" Pandangan Tito ikutan menyapu kesegala arah.
Chiko memutar bola matanya malas, "Udah mempel dipunggung Bagas tadi."
Suasana yang sedari tadi menegang kini mulai mencair. Mereka tertawa seakan apa yang dibilang Chiko benar adanya. Bagas mungkin bisa menghindar dari kecoa jika makhluk itu tidak menempel ditubuhnya, tapi kalau sudah menempel ... mereka jadi tidak bisa membayangkan Bagas akan membuka semua bajunya didepan umum gara-gara kecoa.
"Ayo. Kita ke kafe dan gak usah diambil pusing," Revan merangkul bahu Alex. "Hadapin masalah itu harus dengan ketenangan bukan emosi. Kalau lo pakek emosi masalah bukan selesai malah tambah runyam."
"Nah bener tuh. Contohnya aja sekarang Eva udah jadian sama Arvin." Tukas Chiko yang langsung mendapatkan delikan tajam dari Revan dan Tito.
___________________
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lu-Gu (Selesai)
Teen Fiction"Larilah sekencang mungkin, sembunyilah ditempat yang lo suka. Dimanapun lo berada gue pasti bisa nemuin lo." "Karena apapun yang udah gue klaim menjadi milik gue gak akan pernah gue lepasin." Ini tentang Eva, yang menghabiskan sisa hidupnya untuk...