Eva bernapas lega saat tangannya berhasil memegang pagar kayu rumahnya, lebih tepatnya rumah Inah yang sudah dia anggap seperti rumah sendiri.
Perdebatannya dengan Om Davin begitu menguras tenaga, Eva sampai terengah-engah karena berteriak emosi. Belum lagi ditambah dengan perdebatannya dengan sang Papa, hatinya seakan ditikam oleh belati kala beliau mengingatkannya tentang nasib keluarga yang terancam.
Ceklek...
Eva membuka pintu. Matanya melebar sempurna, bahkan tangan yang tadi dia gunakan untuk membawa belanjaan reflek terlepas kala melihat kondisi rumah yang mengerikan.
Sepertinya rumahnya habis kemalingan. Isi rumah sangat acak-acakan persis seperti kapal pecah. Bahkan kursi dan meja sudah bergeser sesuka hati. Siapa yang berani mencuri dirumah kecil seperti ini?
"Bagus. Kelayapan aja terus!" Suatu suara mengagetkan Eva.
"A--alex?"
"Udah jam sepuluh lebih baru pulang. Keenakan selingkuh ya begini!" Alex menyilangkan kedua tangan bersandar pada tembok dekat pintu masuk.
"Aku enggak selingkuh. Aku habis belanja tadi." Eva melangkah kearah dapur dan menaruh belajaannya ditempat-tempat yang sudah disediakan.
"Supermarket mana yang buka sampai jam sepuluh deket-deket sini?" Tatapan Alex terus mengikuti langkah pacarnya.
"Antri di kasir." Setelah berhasil meringkas semua belanjaannya Eva beralih mengambil panci lalu mengisinya dengan air.
"Alesan! Ponsel pakek acara ditinggal pula. Biar apa? Biar gue percaya kalau nambahin alesan sama ponsel yang tertinggal gitu? Gak mempan. Lagian siapa sih yang ngajarin pulang malem?"
'Kamu yang ngajarin.' Batin Eva.
Eva mendaratkan panci diatas kompor lalu menyalakannya. Tatapannya beralih menatap kesepenjuru ruangan yang nampak sudah seperti terkena angin puting beliung. Pasti Alex tadi mengamuk karena tidak menemukannya. Akhirnya mau tidak mau Evalah yang harus membereskan semua kekacauan itu.
Sedangkan Alex memilih mendaratkan bokongnya diatas sofa yang sudah tak berada ditempatnya. Mengobrak-abrik rumah kecil kekasihnya plus berteriak-teriak tidak jelas nyatanya membuat tenaganya terkuras. Sungguh dia malu dengan otot kekarnya.
"Ibu mana?" Dengan gaya duduk ala bos, Alex mengangkat satu alisnya keatas saat menyadari bahwa calon mertuanya tidak nampak kala dia membanting segala macam benda.
"Ibu menginap di rumah majikannya. Beliau sedang sakit."
"Oh jelas aja. Makin komplit sudah kebebasannya ya? Besok-besok gak usah pulang sekalian sampek subuh." Racau Alex.
Eva memutar bola matanya malas. Kecerewetan Alex melebihi Lily. Bahkan Eva baru menyadari bahwa Alex adalah cowok yang banyak bicara. Tidak seperti awal-awal pertemuannya dulu.
Gadis itu melangkah mematikan kompor kala air yang dimasaknya mendidih, lalu mengambil gelas dan menuangkan serbuk kopi disana, tidak lupa diberinya sedikit gula agar tidak pahit, dan sentuhan terakhir dituangkannya air hangat kedalam gelas lalu dia aduk.
"Eva! Lo dengerin gue ngomong gak sih?!" Teriak Alex geram.
Eva berjalan menghampiri Alex. Dia menggeser meja agar berhadapan dengan cowok itu lalu menyuguhkan kopi disana. "Iya. Aku denger." Jawab Eva penuh kesabaran.
Setelah memberikan secangkir kopi, Eva kembali melangkah mengambil sapu dan menyapu lantai rumahnya. Meninggalkan Alex yang kembali mengoceh kesana kemari.
"Malah ditinggalin lagi. Sini duduk deket gue! Peka dikit gitu kek. Kita gak ketemu udah lama, rindu gue!"
Tanpa Alex sadari Eva yang sedang menyapu tersenyum lebar mendengar penuturan gamblang pacarnya. Lama? Bahkan mereka tidak bertatap muka waktu jarum jam menunjukkan angka lima sore tadi dan kini Alex bilang lama? Entah kenapa hati Eva terasa sangat senang kala mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lu-Gu (Selesai)
Teen Fiction"Larilah sekencang mungkin, sembunyilah ditempat yang lo suka. Dimanapun lo berada gue pasti bisa nemuin lo." "Karena apapun yang udah gue klaim menjadi milik gue gak akan pernah gue lepasin." Ini tentang Eva, yang menghabiskan sisa hidupnya untuk...