Sumpah serapah terus dilontarkan Eva pada dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak lupa membawa ponsel, atau tidak lupa membawa uang lebih untuk biaya ongkos pulang. Sebenarnya jarak antara rumahnya dan supermarket tidak begitu jauh, tapi karena belanjaannya yang super duper banyak membuat perjalanannya menjadi dua kali lipat lebih jauh.Jam sudah menunjukkan pukul 21:30 dan Eva belum juga sampai di rumah. Dia harus mempersiapkan telinganya mulai sekarang, karena setelah ini ada dua makhluk menyebalkan yang akan mengintrogasinya karena kesalahan yang dia perbuat.
Pertama Papanya. Pria paruhbaya itu sangat agresif jika berkaitan dengan putrinya. Beliau saja akan marah jika sudah jam sembilan malam Eva masih saja menonton televisi, apalagi sekarang? Jam sudah menunjukkan waktu setengah sepuluh dan dia masih berada diluar. Bisa dibayangkan berapa kali lipat Papanya akan marah.
Yang kedua adalah Alex. Tentu saja cowok itu akan marah, malah akan lebih menyeramkan lagi dari Papanya. Eva tidak mengabarinya semenjak pulang sekolah tadi dan sekarang ponselnya pakai acara tertinggal pula. Pasti dia mengamuk karena Eva tak kunjung mengangkat telpon.
"Becak Mbak."
Eva menoleh. Dahinya berkerut memandang tukang becak yang anehnya masih beroperasi padahal hari sudah larut malam. Dan lebih anehnya lagi dia baru menemui tukang becak di kota yang telah lama dia tempati itu. Sungguh sedari dulu tak pernah ada tukang becak di wilayah itu.
"Mbak, ndak mau naik becak. Murah meriah lho, lima ribu sampek. Bapak turunkan depan rumahnya Mbak cantik deh." Ucap pria paruhbaya dengan logat jawanya.
"Enggak Pak." Eva kembali menyeret kantong plastik besar meninggalkan tukang becak tersebut.
"Eladalah.... dikasih murah masih saja kabur. Sini Nduk sini, Bapak kasih gratis deh."
Tukang becak itu mendorong becaknya kembali menghampiri Eva. Walaupun gadis itu masih tidak menggubris, dia tetap saja bersikukuh menawarinya sampai mau.
"Saya gak mau Pak. Gak mau! Kehadiran Bapak jadi tukang becak di malam hari seperti ini saja sudah membuat saya curiga, apalagi dikasih gratis. Pasti ada apa-apanya kan?" Tuding Eva menunjuk tukang becak.
"Astagfirullah... jangan su'uzhon dulu Nduk."
Eva mendengus kesal, "Udah Pak. Bapak pulang saja gih. Anak dan istri Bapak pasti cari."
"Eh... ndak bisa gitu!" Pria paruhbaya itu melempar topinya asal karena sebal.
Ingin rasanya Eva melempar pria paruhbaya itu dengan bahan-bahan makanan yang dibelinya, tapi keinginan itu jadi urung saat mengingat bagaimana perjuangannya untuk membeli semua itu. Jadi keenakan tukang becaknya nanti.
"Tapi saya gak mau Pak! Bapak ngerti gak--- Om Davin?!"
Eva mengucek matanya guna memperjelas penglihatan. Benarkah pria paruhbaya didepannya saat ini adalah Om Davin?
Tukang becak itu meringis dengan tampang bodohnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Om Davin ngerti gak sih?! Saya udah bilang Om gak usah ngawasin saya lagi. Saya bisa jaga diri, Om mah nyebelin!"
"Eh siapa yang ngikutin kamu. Saya sedang bekerja sekarang."
"Bekerja apaan?! Kemarin jadi tukang jual sate, kenapa tiba-tiba sekarang Om Davin bisa jadi tukang becak?!" Teriak Eva geram.
"Jangan marah-marah Nduk. Nanti cepet tua, ndak baik juga buat kesehatannya kan."
"Dan sejak kapan logat bahasa Om Davin berubah jadi jawa?! Kali ini saya gak akan bisa percaya lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lu-Gu (Selesai)
Teen Fiction"Larilah sekencang mungkin, sembunyilah ditempat yang lo suka. Dimanapun lo berada gue pasti bisa nemuin lo." "Karena apapun yang udah gue klaim menjadi milik gue gak akan pernah gue lepasin." Ini tentang Eva, yang menghabiskan sisa hidupnya untuk...