[Don't Ever Give Up!]

3.2K 354 28
                                    

Untuk kesekian kalinya Jisung menghela napas karena gugup.

Dipandanginya lagi selembar amplop yang ada di genggaman. Di ujung kanan amplop, logo dari sebuah agensi ternama Korea Selatan dengan tiga huruf besar berwarna biru terlihat memberikan harapan besar bagi seorang Han Jisung kala itu.

Bahkan ketika wali kelasnya menyerahkan langsung amplop tersebut, Jisung hampir menangis karena tidak mempercayainya. Tiga bulan yang lalu, begitu mendengar bahwa salah satu agensi terbesar di Korea mengadakan audisi global, Jisung langsung mengirimkan video rap sederhananya. Padahal Jisung pikir video yang direkam dengan kamera ponsel dan berlatar studio sekolah itu tidak akan membuatnya lolos audisi.

Apalagi selama tiga bulan lamanya Jisung tak mendengar kabar apapun tentang audisi global itu. Jisung bahkan hampir melupakan audisi tersebut. Tapi siang tadi saat jam istirahat makan siang, Jisung mendapatkan jawabannya. Dia diterima berkat kemampuan dan kerja kerasnya selama ini. Rap sederhana Jisung ternyata memikat hati para juri.

Jisung bersyukur mengetahui bahwa dia semakin dekat akan mimpinya. Meski separuh hatinya masih ragu.

Melepaskan pandangan dari amplop di genggaman, Jisung beralih pada sosok wanita berusia tiga puluh tahunan yang duduk di kursi panjang ruang tengah. Wanita yang Jisung panggil dengan sebutan Eomma itu tampak sibuk dengan buku serta kalkulator di pangkuannya.

Dari tempatnya berdiri, Jisung dapat melihat wajah serius wanita itu. Beberapa kali juga Jisung dapat melihat wanita itu memijat pelipisnya sembari menghela napas sebelum mengulang kembali hitungannya dari awal. Jisung tahu betul buku itu dan apa saja yang sedang ibunya hitung, itulah sebabnya sedaritadi Jisung hanya diam di tempat sembari menunggu waktu yang tepat.

Dan ketika sang ibu melepaskan raut wajah seriusnya bersamaan dengan lepasnya kacamata yang sejak awal bertengger di tulang hidung, Jisung baru bergerak untuk mendekatinya. Jisung menyembunyikan amplop putih yang amat berharga itu di balik tubuhnya kemudian mendudukkan diri tepat di samping sang ibunda.

"Oh, Jisung? Kenapa kau disini? Kau tidak belajar, hmm?"

Jisung tak langsung menjawab. Dia terlebih dahulu memperhatikan raut wajah lelah serta buku yang masih ada di pangkuan sang ibu. Buku itu dipenuhi coretan angka yang sudah Jisung hapal luar kepala. Hanya saja entah kenapa hasil dari hitungan itu selalu berbeda tiap bulannya.

Dan semakin kecil hasilnya, semakin wajah sang ibu terlihat lelah bersamaan dengan kantung mata yang bertambah besar.

"Aku sudah belajar kok." Jawab Jisung pada akhirnya.

"Kalau begitu kenapa tidak langsung tidur? Ini sudah larut, Jisung-ie, besokkan kau masih harus pergi ke sekolah."

"Eomma sendiri kenapa tidak tidur?" Jisung menutup buku yang ada di pangkuan sang ibu kemudian melemparnya keatas meja bersama dengan kalkulatornya. "Bukankah aku sudah sering mengatakan untuk tidak menghitung itu terus? Nanti Eomma bisa sakit karena terlalu memikirkannya."

Wanita tercantik dalam hidup Jisung itu menunjukkan senyum manisnya. Beliau menatap putra kesayangannya dengan penuh bangga sebelum menggusak surai hitam Jisung dengan lembut, "Eomma baik-baik saja kok. Lagipula Eomma menghitungnya agar semua kebutuhanmu tercukupi, Jisung-ie."

"Tapi tak perlu sampai memaksakan diri, Eomma."

"Eomma tidak memaksakan diri. Eomma juga tahu dimana batasnya, jadi kau tidak perlu khawatir."

Jisung diam selama beberapa saat. Dia memandangi sang ibu yang kini sibuk merapihkan semua barang-barang yang tadi digunakan untuk menghitung kemasukan-pengeluaran toko, pengeluaran sehari-hari, biaya sekolah Jisung serta biaya kesehatan sang ayah yang kini terbaring lemah di rumah sakit.

[Stray Kids IMAGINE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang