19 | Prominensa

7K 588 16
                                    

Bagian Tujuh Belas.

Kau tatap begitu saja aku sudah panas dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kau tatap begitu saja aku sudah panas dingin.
Bagaimana jika nanti kau menarik sudut bibirmu ke atas?-Dila

Dibanding korona, lo kayaknya lebih pantes disebut Prominensa deh, Van. Mana kerjaan lo nyemburin gas panas mulu! Mungkin, ini alasan kenapa tiap deket lo gue sering ngeluh kepanasan.

_Dila, anak Biologi yang nekat plesetin Ilmu Astronomi_



🌛

"Biar gadis bodoh itu urusanku."

Dila mencebik ditempatnya. Tetap saja Vano dengan mulut super ngeselinnya tidak bisa dipisahkan.

Melalui lirikan mata cowok itu, Dila lantas mengikuti langkahnya. Dila menyempati memeletkan lidahnya kearah dua cowok yang masih terdiam. Baru gadis itu melangkah riang mengikuti langkah Vano didepannya.

Lalu kala dua insan itu pergi, cowok yang tadinya memegang lengan Dila mengerutkan keningnya. Ia menyeletuk, "Tuh cewek siapanya, Tuan?"

Cowok yang tampak memakai baju 'aneh' itu kemudian merespon. Mengendikkan bahu, "Ceweknya kali. Udah. Lo jangan kepo-in Vano." toyornya pada teman dekatnya itu. "Mending lo ikut gue."

"Kemana?" tanyanya mendadak bego.

Toyoran di kepala sekali lagi ia dapatkan. "Benerin otak lolah. Apalagi?"

🌛

Dila dan Vano masih berjalan di lorong-lorong atau jalan gelap itu. Terserahlah mau bilang lorong atau jalan. Dila nggak peduli. Intinya, yang jelas ia sudah berada di dekat Vano.

Dila beberapa kali terlihat menyamakan langkahnya dengan Vano. Sembari bersenandung pelan ia memperhatikan lorong-lorong yang ada lampu terang. Lampunya pun berbentuk panjang terletak diatas mereka. Dila agak bingung sih tadinya, lantaran seingatnya tadi selama ia berjalan masuk, lampu-lampu yang dipasang berjarak sekitar 1 meter ini tidak menyala. Tapi, ia sungkan juga mengatakannya. Dila tidak berani juga bertanya dengan cowok itu.

"Kita lewat jalan mana, Van?" akhirnya suara Dila memecah keheningan diantara mereka. Dila berhenti berjalan saat cowok itu menghentikan langkahnya juga.

Seperti biasa, Vano tidak meresponnya.

Alih-alih berjalan pada salah satu jalan itu. Vano malah menoleh kesamping. Tepatnya kearah sisi tembok. Vano mengeluarkan sesuatu seperti kartu dari sakunya. Ia mengusap tembok didepannya. Lalu keluar suatu benda yang berbentuk persegi, seperti benda penggesek kartu.

"Wow, itu-"

"Jangan bacot!" sentak Vano yang berhasil membuat nyali Dila semakin menciut.

Setelah Vano menggesek kartu yang ia pegang tadi, tiba-tiba saja tembok itu berubah menjadi pintu. Dila mengerjap. Ternyata teknologi dizamannya semakin mengherankan. Bagaimana bisa ada pintu besi di balik tembok.

GRAVITY [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang