Bagian Enam Puluh.
Kau salah jika mengatakan aku sudah melupakanmu.
Bahkan setiap menit helaan nafasku, acap kali terbesit tentangmu. -Adila.•
•
•🌛
Malam yang sunyi. Bahkan suara jangkrik malam pun seolah tak ingin menemani kesendirian gadis itu. Di samping kolam, ia menekuk kakinya. Dengan pandangan mengarah ke rumah kaca yang begitu terang cahayanya.
Hembusan nafasnya terdengar teratur. Perlahan ia mulai menyukai rasa kesepian yang melingkupinya ini. Matanya menyorot sendu.
Waktu sudah larut. Bahkan sudah mendekati dini hari. Tapi, mata si gadis seolah memaksanya untuk tidak menutup. Sebab setiap kali ia memejamkan matanya, maka mimpi-mimpi yang sama itu akan terus menghantui. Sudah sebanyak apapun ia memaksa otaknya berfikir, tetap saja menemukan titik buntu.
Selain memikirkan mimpi aneh itu, kini lagi-lagi ia tak bisa mengenyahkan pikirannya tentang seseorang yang berhasil menjungkir balikkan hidupnya. Membuatnya tak bisa berhenti memikirkan sosoknya. Tatkala sibuk, ia mungkin masih bisa menghilangkan bayang-bayang orang itu. Tapi, jika sudah sepi melingkupi. Maka, hanya sosok itu yang terpatri.
"Hei,"
Dila terlonjak kaget. "Astaghfirullah, Bang Riksa!"
Riksa menggeleng melihat reaksi adiknya. Ia lantas mengambil duduk disamping Dila. "Nih, mau?"
Dila menekuk wajahnya. "Itu, apa?"
"Matchalate." dan tanpa disuruh dua kali, Dila langsung meraihnya. Riksa lagi-lagi menggeleng pelan.
Adiknya ini memang tak banyak berubah. Matcha tetap menjadi favoritnya.
Detik demi detik mereka hanya saling terdiam. Sama-sama menatap pemandangan kebun bunga hasil jerih payah bunda mereka. Meskipun tetap saja yang menarik perhatian disana ialah rumah kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
GRAVITY [Tamat]
Science Fiction"Lo itu gue ibaratin venus flytrap. Gue kupu-kupu-nya. Gue yang udah terperangkap di ruang lo. Mana mungkin bisa keluar. Bahkan kemungkinan terburuknya ialah sang kupu-kupu itu mati. Karna satu kali kesalahan hinggap di daun lo. Ya, begitulah sekir...