Halo.
Terimakasih untuk kesetiaannya.
Jangan lupa vote.Sebulan berlalu, pancaroba berubah. Terhitung tiga puluh hari Ara mebentangkan jarak. Meski pun Ara tau hubungan Indah dan Sean sudah resmi berakhir tiga hari setelah pertemuan di Kelapa Gading. Ara mengetahuinya dari mulut Indah sendiri.
Ara berusaha untuk tidak peduli. Setiap detik yang berjalan Ara keras dalam hal melupakan. Anehnya,semakin besar usaha hal melupakan semakin ingat pula akan sebuah kenangan. Waktu memang pemberontak, ia enggan untuk di paksa. Bergerak sesuka hati.
Ara rindu. Tentu rindu Sean. Tidak naif, Ara benar-benar merindukan sosok pria datar itu. Ara menatap purnawa di celah gorden yang sengaja ia buka setengah. Perlahan, bibirnya melengkung.
Tidak ada salahnya jika Ara harus menghubungi Sean. Ara paham, Sean adalah pria yang mampu bertahan;bertahan dalam sikap diamnya.
Ara tau dirinya adalah agresif, sering lepas kontrol dan enggan muluk-muluk dengan apa yang ia rasa. Suka ia tunjukkan, cinta ia katakan dan tidak suka ia abaikan.
Siapa lagi yang paling mengerti sifat kita jika tidak kita sendiri? Berharap orang lain memahami adalah harap yang salah.
Kreytttttt.
Bunyi pintu penghubung balkon. Ara duduk. Angin dan romansa purnawa menemani dirinya. Ara menempelkan earphone ke telinga kiri dan kanan, mendial sosok yang suaranya ingin Ara dengarkan. Meletakkan kembali ponsel di atas meja.Ara berusaha menepis ragu meski ia sadar tindakannya akan membuat Sean tau bahwa ia mengharapkan sesuatu. Ara mencoba untuk tidak peduli, hatinya pun perlu bahagia.
"Halo,"ujar suara di sebrang sana. Ara tersenyum, meski ia paham Sean tak akan melihat.
"Eh, apa kabar?"tanya Ara berusaha meelastiskan keadaan.
"Baik, lu sendiri gimana Cil?"
"Gue sehat."
Diam. Sunyi malam turut mendiamkan mereka. Ara tidak tau apa yang harus ia bicarakan lagi. Kata rindu terdengar sangat menjijikan jika di ucapkan dalam keadaan ini.
"Cil?"
"Sean?"Panggil mereka bersamaan. Ara tertawa tanpa suara "Gue gak mau ada drama, lu Luan. Atau ledies first hahah,"kekeh Ara.
"Sean? Gue pengen jalan-jalan," lanjut Ara.
"Lu masih mau ketemu gue?"
Ara tersenyum hangat "ada alasan gue gak mau ketemu lo?"
"You know what i mean."
Ara berdehem "Sean? Perasaan lo sama Indah tentu masih tersisa. Lo juga gak akan mungkin jatuh hati sama gue kan? Yaudah, gue rasa pertemanan kita akan menjadi sehat seperti sedia kala."
"Lu kenapa suka gue sih?"
Ara terkekeh "Suka lu? Hahah GR banget pak!"
"Sikap lu nunjukin banget bego."
"Sean? Gue mau ngajak jalan-jalan kenapa jadi bahas perasaan."
"Lu tau kan gue bejat?"ujar Sean.
Ara menghela nafas panjang "Sean? Udah ya. Anggap aja gue gak pernah cinta.
"Yaudah nanti gue otw kost lu."
****
Angin malam menerpa wajah Ara. Meski genap sebulan tidak jumpa--tidak mengkakukan pembicaraan mereka. Sean tetaplah Sean, si tampan jutek yang tidak ketolongan."Mau kemana sih Cil?"tanya Sean.
"Muter-muter aja."
"Pusing muter-muter mah!"
"Garing."
"Ya lo mau kemana bego,nyusahin."
"Pokoknya keliling Jakarta."
"Jakarta luas, ngabisin bensin lo."
"Gue bayar deh."
"Lo kira gue cowok apaan di bayar-bayar gitu?"
"Cowok murahan, hahaha." Tawa Ara pecah. Ia menjauhkan kepalanya dari punggung Sean, tertawa menatap langit. Malam ini, purnama bersinar indah. Di temani dengan bintang-bintang kecil yang menawan. Sean tetap fokus mengendarai motor besarnya. Yang Sean tau adalah saat ini ia membawa motor sesuai dengan jalur yang ada di depan matanya. Tidak ada tujuan yang pasti.
Ara benar-benar menyusahkan dan sialnya dia malah menjadi penurut di depan Ara. Mungkin saja ini hanyalah rasa tidak enak hati karna kejadian beberapa minggu yang lalu. Sean tidak tau mengapa ia mau di kontrol oleh wanita bar-bar ini.
"Lo udah makan Cil?" Sean banyak bicara. Banyak berubah. Ini suatu reformasi orde baru untuk Ara.
"Belum,"jawab Ara singkat.
Namun tidak bisa di bohongi, Ara selalu merasakan jantungnya berirama lebih cepat dari biasanya. Ara harus akui, bahwa Sean masih menjadi orang yang berhasil mencuri detak jantungnya.
"Lo belum makan ya?"tanya Ara.
"Ya lo pikir aja. Pulang kerja langsung jemput lo."
"Weits, santai dong bang, hahah nge gas amat,"kekeh Ara.
"Cari makan aja yok,"ujar Ara.
"Enggak deh."
"Loh?"
"Ya lo ngotak deh, gue makan terus lo liatin gue gitu?"
"Lah apa salahnya? Gue kan bisa minum; mesen es teh."
"Salting yang ada gue." Tawa Ara pecah bersama angin yang mendera.
"Terus ntar tukang jualannya ngangap gue cowok pelit karna loo minum doang."
Ara menepuk pundak Sean dramatis "tenang, gue bakal jelasin ke ibu-ibunya kalau kita hanya sebastian, sebatas teman tanpa kepastian Bhuahahah."
Sean geleng-geleng, membawa satu orang seperti Ara saja menulikan telinganya, gimana dengan sepuluh orang seperti Ara?
"Eh, seriusan loh. Cari makan deh,mati ntar lo."
"Gak usah deh, selera makan gue hilang."
"Ih alay banget kaya anak SMP yang ambekan sama pacarnya."
"Lo kaya gini tau aku gak mau makan kalau kamu gak makan juga"ucap Ara menirukan suara wanita manja. Sean jijik mendengarnya.
"Lagian lo sinting,"ketus Sean.
"Loh kok?"
"Lo ngajak jalan, malah Lo udah makan duluan."
"Yaaa maap."
"Yaudah sih , nyari makan aja,"kesal Ara."Gak usah."
"Yaudah, ORA urus. Lo yang lapar ini, perut lo yang sakit ini, ORA peduli aku mas!"teriak Ara.
Tidak makan malam tidak akan langsung membuat Sean mati kan? Wajar Ara tidak peduli. Sean berdecih, wanita ini tidak peka sama sekali.
Tunggu. Apa katanya? Ara tidak peka? Sepertinya Sean butuh bercermin.
Ara menenggelamkan kepalanya di punggung Sean, di biarkan tangannya bertengger di pinggang pria ini. Ara kembali menyadari bahwa hatinya masih untuk Sean. Mungkin berjuang di balik pertemanan jauh lebih baik.
Berpura-pura untuk tidak menyadari perasaan sendiri, karna pada akhirnya hati lah yang akan bicara. Sikap dan reflek diri akan bersuara.
Holla, masih setia nunggu update-nya cerita ini?
Jangan lupa vote ya. Coba cek dulu, kali belum nekan tombol bintang
KAMU SEDANG MEMBACA
Ara dan Sean
Romance(END) Bertemu dengan Sean yang notabenenya jutek, aneh, tidak bisa di tebak, kadang manis buat diabetes tapi tetap datar dan kalau bicara pedas--ngalahin sambalado masakan emak. Ara si wanita pecicilan, petakilan dengan suara toa-nya tidak pernah me...