29. Puzzel Satu

532 43 0
                                    


"Mama?"

"Husttt, kamu jangan keras-keras. Iya ini mama. Bersikap biasa--ya,Nak. Kamu harus cepat sembuh. Mama sama papa sayang kamu."

Matanya memerah, ia ingin merengkuh namun keadaan menahan dirinya.

Tuhan, sampai kapan badai ini berlalu.

****

Sean memijat pangkal hidungnya, banyak dokumen yang harus di periksa akan tetapi wanita di depannya malah mengganggunya.

"Ayolah Sean, ini udah waktunya makan siang."

"Gue sibuk, lo sendiri dulu."

Laura si perempuan berambut blonde itu mencebikkan bibirnya. Sudah setahun ia berusaha untuk mendapatkan Sean, tapi belum ada tanda-tanda keberhasilannya. Ya--meskipun sekali-kali Sean mau menurutinya. Tapi itu sudah lebih dari cukup, Laura optimis mampu melumpuhkan hati Sean untuknya.

Ceklek.

"Eh, noni Belanda,"jutek Sea tiba-tiba duduk.

"Eh adik ipar,"kekeh Laura. Sea memutar bola matanya jengah. Ia tidak begitu suka dengan Laura. Jelas terlihat bahwa wanita ini tidak tulus pada abangnya.

"Bang? Ceya mau pinjem kuota,"kekeh Sea. Jika Sea menyembut dirinya dengan panggilan masa kecilnya, artinya ada yang diinginkan wanita ini.

"Beli aja,"jawab Sean dengan pandang pada dokumennya.

"Hiw, urgent bang. Serius."

Sean mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu di memonya.

Boleh, asal temenin abang sampai si Noni keluar!

"Nih,"ujar Sean menyodorkan ponselnya. Tidak ada niat mengusir Laura, hanya saja pekerjaan sedang menumpuk. Jangankan untuk makan siang, untuk bergerak saja Sean enggan.

Sea terkekeh membacanya. Sedari dulu Sean hanya ingin bersikap baik dengan wanita manapun, ia tidak menutup dirinya tapi menutup hatinya dengan tetap menghargai wanita. Ia menghargai wanita karna ia dilahirkan dari seorang wanita dan juga dia memiliki adik wanitanya.

"Eh, noni, lo gak pulang? Katanya lo cinta abang gue, kalo iya lo jangan ganggu dong."

"Gue kan ngajak makan doang, gue gak mau Sean sakit,"jawab Laura manja.

"Ntar gue yang ngajak makan abang. Lo pulang aja, tadi gue liat di Instagram, Victoria lagi ngadain diskont besar-besaran."

"Demi apa?" excited Laura.

"Cek aja sana."

"Oke baiklah, Sean aku pergi dulu. Jangan lupa makan dan i love you."

Sea ingin mengeluarkan isi perutnya "Gimana kalau abang nikah sama dia? Hue--bisa mati aku,"jijik Sea. Membayangkannya saja membuat mual berkepanjangan. Sean tidak menggubrisnya. Ia tetap terlihat sibuk dengan pekerjaannya.

Sea menautkan alisnya. Ia mendelete memo yang ditulis abangnya tapi matanya menyipit dengan memo tanggal 5 juni dua tahun yang lalu.
Sejak kapan abangnya menulis? Oke mungkin ini sangat tidak sopan tapi jangan salahkan Sea jika ia terlahir dengan tingkat kepo akutnya. Dengan pelan dan telaten, Sea menscroll sembari mencuri pandang abangnya.

Sean? Aku gak tau entah menunggu berapa lama kamu membaca ini. Aku enggak akan jelaskan disini, tapi buku diary di dalam kamarku akan menjelaskan semuanya. Aku harap ini tidak terlambat, setahun, dua tahun, tiga tahun jika memang Tuhan takdirkan kita menyatu, aku akan tetap menunggu. Jika nanti aku benar-benar pergi, hanya ada dua kemungkinan. Itu bener aku, atau bukan. Terdengar aneh bukan? Jaga dirimu Sean, setidaknya jika nanti puzzle ini tak mampu kamu pecahkan, pastikan dirimu sehat dan bahagia senantiasa.

Ara dan SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang