39. Sean di Sukabumi

516 34 0
                                    

Desiran air pantai terdengar riuh ditelinga Sean. Ia menatap nanar gelombang laut yang pernah menjadi saksi betapa ia kehilangan seseorang yang ia cintai. Sudah tiga hari Sean pergi dari hiruk pikuk pekerjaannya. Tak ada yang tau. Ia hanya mengatakan ingin sendiri bahkan ia memilih untuk menonaktifkan ponselnya di hari pertama ia berada di Sukabumi.

Sean terlalu tidak percaya dengan banyak orang. Ia takut dikatakan gila ketika ia menceritakan kebenaran bahwa Ara masih bernyawa. Ia terlalu pengecut membayangkan banyak wajah yang menertawakan kehidupannya.

Beberapa tahun yang lalu ia pernah merasakan sakitnya beraga namun tidak bernyawa. Beberapa tahun yang lalu Sean mati-matian menepis rasa kekosongan yang ia rasakan. Beberapa tahun ini, Sean mengisi harinya dengan terus mencintai seseorang yang ia ketahui tidak mungkin kembali. Sean terus belajar bagaimana rasanya bangkit ditengah lumpur kekecewaan yang ia rasakan.

Setelah ikhlas ia rasakan,setelah banyak jatuh bangun yang ia temukan, mengapa sekarang ia kembali di permainkan.

Sean tidak menangis namun ada sesak yang hinggap di dalam dadanya. Ada sesuatu yang tidak bisa ia katakan. Wajah itu, wajah wanitanya yang sudah tiga tahun mati-matian untuk selalu Sean ingat.

Sean rindu. Terlalu munafik jika ia tidak mengakui bahwa ia sangat merindukan Ara. Bolehkah ia memeluk Ara di waktu yang sama ketika ia memutuskan untuk membencinya. Sean menyugar frustasi rambutnya, sudah tiga hari ia memikirkan ini.

Haruskah ia tetap menganggap Ara sudah tiada? Namun pertanyaan mengapa Ara melakukan ini terus menghantuinya.

Apakah Ara bohong ketika ia mengatakan bahwa ia mencintai Sean? Namun Sean pastikan Ara tidak mungkin berbohong soal perasaannya tapi bisa jadi Ara berbohong. Namun, apa motif dari kebohongan yang Ara ciptakan. Sean merasa tidak pernah menyakitinya. Apa Ara  masih menyimpan dendam karna ia pernah Sean permainankan tapi Sean percaya Ara tidak tercipta sebagai manusia pendendam.

Lalu apa? Ya Tuhan, rasanya kepala Sean ingin pecah. Ini melebihi migran atau vertigo yang pernah menyerangnya. Lebih dalam dari sakit kepala biasa.

"Arghh,"ujar Sean frustasi.

"Revan jangan lari, nanti di bawa gelombang laut baru tau rasa kamu ya."  Mata Sean tertuju pada sepasang wanita dewasa dan anak laki-laki yang Sean tebak berusia enam atau tujuh tahun.

Dukk

"Argh sakit,"ujar laki-laki dengan boxer corak spidermannya. Sean tertawa hambar, ia mengingat kejadian memalukan ketika Ara mengetahui pakaian dalam pria itu. Dan sialnya ia sedang memakai celana boxer yang memalukan.

"Makanya! Udah kakak bilang kan jangan lari. Kalau sampai kak Indah tau, bisa di pites kamu!"

Seakan merasa tertarik, Sean menajamkan penglihatannya. Dita. Ia tidak salah liat. Itu Dita namun sedang apa wanita itu di sini.

"Kak Dita jangan ngadu makanya!"ketus anak lelaki yang bertubuh tambun itu.

"Udah pokoknya ayo pulang!"

"Pantes aja gak punya pacar, kakak sama kak Indah gak ada bedanya, sukanya ngomel terus arghh sakit kak sakit."

"Makanya jangan jahil!"

"Iye iye, dasar mak lampir,"ujarnya lirih.

"Apa kamu bilang?"

"Enghh, gak ada."

"Kak Dita gak tuli ya. Repeat again!"

Tidak salah lagi, wanita yang sedang marah-marah itu adalah Dita lalu siapa anak kecil itu? Bukankah Dita anak sematawayang?

Ara dan SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang