47. Menyerah atau Berjuang?

732 48 2
                                    

Prov Ara

Entah hal apa yang membuatku berjalan dan berakhir di taman ini. Kutatap kosong langit diatas kepalaku.

Lalu aku bertanya dalam hati kepada semesta; jika manusia diciptakan tanpa rasa lalu apa penyebab manusia bisa kecewa?

Aku duduk tanpa tujuan pasti. Tanpa tau hendak beranjak di pukul berapa.

Hari ini aku kembali menyadari kesalahan yang terjadi antara aku dengan Sean. Aku salah jika berharap Sean akan kembali mencariku dengan menitipkan note di ponselnya. Aku salah ketika aku menunggu ia kembali dengan sesuatu yang tak pasti.

Aku ingin memutar waktu dan kembali ketitik dimana kuhabiskan masa bersama Sean tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

Aku benar-benar mencintai Sean dan rasaku tetap sama,namanya masih tidak berubah tapi aku kehilangan cara. Sean sudah bahagia dengan kehidupan barunya.

Aku mengingat perkataan almrh Eyang Habibie bahwa cinta itu adalah keikhlasan. Tak ada paksaan atau rasa pelampiasan. Tapi aku tidak tau bagaimana cara memulai untuk mengikhlaskan Sean.

Beberapa hari ini, aku sudah bermain peran dengan sangat hebat. Aku tetap tenang tapi pikiranku riuh.

Hari ini aku kembali memikirkan bagaimana cara aku menjelaskan kepada Sean sedangkan ia enggan untuk menatapku.

Aku bimbang, apakah aku harus mundur sebelum menjelaskan semuanya. Atau aku harus membiarkan kenangan tetap menjadi kenangan?

Hsssssshhhh

Aku lelah. Andai kak Iris disini, mungkin akan kuceritakan semuanya.

"Boleh gue duduk disini?"tanya wanita dengan wajah yang kuyakini perpaduan Belanda.

"Silahkan."

"Gue lagi bingung. Boleh gue curhat."

Aku mencari sosok lain selain diriku dan wanita didepanku ini.

"Heh, gue lagi ngomong sama lo."

Aku memilih untuk diam.

"Apa yang akan lo lakukan ketika seorang bertanya, bagaimana jika nanti aku pergi meninggalkan luka dan kembali seakan semua akan baik-baik saja?"

"Jawab dong."

Dia mendesakku. Aku merasa wanita ini seperti ingin mengakrabkan dirinya padaku.

"Aku akan membencimu."

Entah mengapa pertanyaan wanita ini menempatkan posisiku dengan Sean. Maka hanya jawaban itu yang keluar dari mulutku. Lagi pula itu sudah terjadi, benar-benar nyata bahwa Sean sudah membenciku.

"Menurut lo, benar gak sih cinta bisa berubah jadi benci?"

"Ya pasti. Disaat kita mencintai dan terjadi kesalahpahaman maka akan ada benci didalamnya,"kataku dengan mengayunkan kedua kakiku.

"Berarti hukum itu berlaku juga ketika benci berubah jadi cinta,"ujarnya.

Aku menatapnya bingung.

"Kenalin, gue Laura. Dan gue tau siapa lo."

Aku kaget. Aku tidak sepikun itu hingga melupakan orang yang kukenal sebelumnya.

"See lo Ara kan?  Wanita yang selalu ditangisi Sean di makam yang nyatanya bukan makam lo."

"Kalau Sea pernah cerita, gue adalah Noni Belanda yang anak ingusan itu benci."

"Nama gue Laura."

Ara dan SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang