43. Rumah baru

597 45 2
                                    

Ara berjalan gontai ke sebuah makam yang tidak pernah ia kunjungi. Ia mencari satu persatu nama yang ia ingin datangi. Ia mencoba untuk mengingat bahwa makam tersebut berada di deretan sebelah Utara.

Tampak helaan nafas keluar dari mulut Ara. Seakan ia mencoba mengusir sesak yang menyesakkan uluh hatinya. Air matanya luruh mengingat perlakuan Sean tidak semanis dulu lagi. Wajah Ara tersenyum menahan tangisnya, wajar Sean marah. Kadang dengan mengucapkan bahwa ini adalah hal wajar untuk terjadi, Ara sedikit terhibur.

Ara bernafas lega seakan beban beratnya berlalu namun tidak berlangsung laam. Ia kembali merasakan sakit yang tidak terlihat, ketika matanya menangkap nisan bertuliskan namanya sendiri.

"Clar?"ujar Ara mulai berjongkong di sisi kanan makam.

"Akhirnya ketemu hehe,"ujarnya hambar. Ia menelan ludahnya.

"Sorry baru berkunjung hari ini."

"Gimana disana? Enak ya? Ciyee, udah bahagia ya lu?"ujar Ara tertawa hambar.

"Lo tau gak?"

"Yee mana mungkin lo tau? Eh-bisa jadi sih, kita kan kembar hehe."

Untuk beberapa saat Ara memilih diam. Ia membiarkan angin berhembus kencang. Entah mengapa matanya terpikat untuk menatap jam tangan pemberian Clara sebelum ia meninggal.

"Udah jam 10,Clar. Sellow, gue masih pake hehe, jam mahal ini mah,"kekeh Ara bak orang gila. Ara benar-benar ingin terlihat tegar didepan makam kembarannya ini. Ara kembali diam. Sunyi menjadikan suasana semakin mencekam. Sekelebat bayangan perlakuan Sean mulai menghantui pikiran Ara.

"Gue gak kuat Clar. Tapi gue gak mau nyia-nyiain apa yang udah lo korbanin buat gue."

Ara menarik nafasnya dalam-dalam, air matanya luruh tanpa ada suara tangisan. Ia bingung dengan posisi ini. Apakah ia harus memperjuangkan Sean yang notabenenya kebahagiaannya atau kembali menghilang setelah menunjukkan bahwa ia masih hidup.

"Kenapa gak gue aja yang lo biarin mati, pasti keadaan gak bakal serumit ini."

"Oh ya, mama kita sakit. Tapi mama bahagia soalnya kakek sudah mulai berdamai dengan masa lalunya."

"Lo tau siapa yang buat kakek berubah?"

"Gue dong hahah, lo bener, kakek tua bangka kesayangan kita tuh sebenernya baik. Coba gue percaya omongan lo kalau sebenarnya kakek tua itu menyayangi kita dengan rata maka gue gak bakal nunggu sampai tiga tahunan Clar."

"Clar? Jangan ajak mama ke alam lo ya. Gue janji, setelah nanti bendera nyerah gue kibarkan, gue baka balik ke Singapura dan rawat mama. Gue janji bakal bahagiain mama tentu papa juga."

"Gue tau Lo sendiri disana tapi belum waktunya kita nemenin lo. Lagi pula ini cukup adil, tiga tahun gue juga sendiri tanpa mama dan papa."

Zrheeerrrretttt  zhretttt. Ara menarik ingusnya yang sudah melorot dari kedua muara hidungnya.

"Gue harus tinggal dimana Clar? Pagi ini hiks--"

"Sean ngusir gue."

"Lo pasti mau bilang kalau ini wajar kan?"

"Iya,Clar. Gue tau ini huuhuhhh respon wajar tapi gue harus bersikap gimana Clar?"

Rinai hujan mulai menguyur tanah merah itu. Ara menatap langit yang sangat gelap.

"Lo denger gue Clar? Lo gak boleh nangis, ini hujan air mata lo kan? I'm okay,Clar,"ujar Ara menghapus air matanya.

"Gue kuat, gue kuat!"ujarnya menekan dadanya yang terasa sesak.

Ara dan SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang