11. Perlakuan Sean

747 59 11
                                    

"Loh, ngapain berhenti?"

"Noh ada bank BCA,"ujar Sean.

"Sean, liat deh, itu BJB bukan BCA."

"Matanya kotok nih, minta di operasi hahahah,"ledek Ara. Sean salah tingkah, perasaannya tadi dia melihat bank BCA dekat sini. Sean mencari famplet BCA yang tadi ia lihat tapi tak kunjung ia temui.

Mobil yang berada di depan ATM center itu berlalu dan benar saja di baliknya berdiri bank yang mereka cari.

"Mata lo yang kotok,"ketus Sean.

"Bhuahahah, iya gue tau, gue sengaja oon. Hahah,"kekeh Ara.

Ara turun dengan perut yang menggelitik, malam ini semesta menyetujui dirinya merasa bahagia--sesederhana ini.

"Ra?"panggil Sean. Ara menoleh "titip roti ya,"ujarnya malu, ternyata lapar benar-benar menyerang lambung Sean.

Ara mengulum senyumnya dan tak bisa ia tahan, pecahlah tawanya. Wajah dan eskpresi Sean benar-benar menggemaskan. Sean mengalihkan ledekan Ara, ia berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

Ara berlalu dengan cengir yang masih tidak bisa pudar. Siluet Sean tetap mengamati gerak-gerik Ara dari ke bank sampai ke indomaret itu. Ada tanda tanya besar di kepalanya--sebisa mungkin ia menepis tanya itu.

"Udah nih,"ucap Ara mengalihkan lamunan Sean. Sean menatap dua kantong plastik putih yang ada di tangan Ara.

"Lo belanja sebanyak itu? Gue cuma nitip roti,"heran Sean.

"Ini mah buat di kost gue ntar."

"Lo benar-benar sinting ya. Di depan kost lo ada indomaret,majuan dikit ada alfa, ngesot dikit ada alfamidi, ngapain jauh-jauh belanja kalau barang yang sama mudah di dapatkan disana?"

"Khilaf, gak nahan liat coklat sama jajanan micin lainnya."

"Terus mana duitnya?" Ara melongo, meringis menatap Sean.
"Gue transfer ke tempat temen."

Sean mencoba sabar menghadapi idiotnya Ara "tadi udah sepakat kan, lo ambil cash gue transfer ke ATM temen lo, gimana sih lo?"

"Tolol ke DNA!"ketus Sean. Bukannya marah, Ara malah menatap lucu wajah Sean.

Ara mengekor di punggung Sean, tak lupa bunyi kresek membisingkan keadaan. Sean menoleh kebelakang, Ara berhenti. Ia salah tingkah.

"Ngapain?"

"Eh,an--u mau ikut."

"Jaga motor aja sana."

Ara berdesis. "Kunci motor belum gue cabut, sana jaga,"usir Sean. Ara berlari kecil, bagaimana bisa Sean meninggalkan kunci. Itu sama aja Sean memberi makan perampok.

"Sean tai,"pekik Ara kala tak ada apa-apa di motor.

***

Mereka melanjutkan perjalanannya. Dingin memeluk kuat tubuh Ara, apalagi tidak ada jaket yang terpatri di tubuhnya. Tangannya sibuk menggenggam jajanan yang tadi ia beli.

Rintik hujan turun ke bumi. Sean sedikit gelisah kala hujan bukan lagi menjadi rintik. Ara bersembunyi di punggung Sean, melindungi jajanannya.

Kebodohan Ara benar-benar sampai ke DNA, jelas-jelas jajan itu terbungkus plastik dari pabrik, tidak akan mungkin air bisa masuk secara bebas.

"Sean ini gimana?"teriak Ara. Hujan semakin deras, tubuhnya sakit ketika hujan berubah menjadi seperti batu.

Entah mengapa ketika hujan turun saat berkendara, rasanya tidak sama seperti kita sedang berjalan. Sakitnya seperti di lempar bebatuan.

Sean menoleh kanan dan kiri, mencoba mencari tempat untuk neduh. Tapi daerah ini sangat gelap dan tidak memungkinkan mereka berhenti di tempat tidak aman ini.

Seakan ada lampu yang menyala di kepala Sean, ia mengarahkan motornya ke sebelah kiri. Ia ingat, ada hotel kecil daerah ini.

Sean memarkirkan motornya di sebuah hotel yang tidak memiliki bintang ini. Ara tidak tau apa nama hotel ini, sebab matanya baru terbuka saat motor sudah terparkir di belakang hotel.

Ara turun, mengibaskan baju dan celana yang basah. Rambutnya lepek. Wajah Sean kering--jelas, ia memakai helm. Tapi naas, baju Sean basah kuyub karna menghadang hujan.

"Lo duduk disini, gue ke depan dulu." Sean berlalu, mendial seseorang.

Ara duduk di ruang tamu bagian belakang hotel, sebelah lift. Apakah mereka akan menginap? Tak mungkin hanya berteduh saja.

"Sean? Kita nginap?"tanya Ara. Sean tidak menjawab, ia berjalan dan menekan tombol lantai tiga di lift kecil ini yang Ara perkirakan hanya bisa menampung lima orang saja.

"Sean? Mending gue pulang aja. Gue order grab car deh."

"Ini hujan badai Ra, dan daerah rawan begal. Gak akan ada driver yang mau ngambil orderan. Kalau lo gak percaya, coba aja."

"Ta-," ucapan Ara terpotong kala lift kembali terbuka di lantai yang berbeda. Ara meremas tangannya kuat-kuat, dingin dan takut hadir dalam dirinya.

"Lo gak bawa jaket ya?"tanya Sean sembari membuka kamar hotel dengan kartu yang ia bawa. Ara menggangguk.

"Lo mandi dulu,make jaket. Belum basah kan tas lu?"

"Waterproof."

"Lo tenang aja Ra, gue udah hubungi Citra sama Randy, mereka bakal datang bawa baju buat kita."

Sean tau, Ara takut. Se bar-bar apapun Ara, tetap saja Ara takut akan hal ini. Dikamar hotel, berdua dengan pria normal.

"Nunggu mereka aja deh,"final Ara.

"Nanti lo sakit bego."

"Lo aja yang luan mandi."

"Yang kedinginan banget itu elo, coba lo ngaca, liat bibir lo, muka Lo!"

Ara menatap dirinya di cermin, sangat berantakan. Wajah pusat pasi, rambut lepek, baju basah. Benar-benar mengerikan.

"Dingin pasti,"keluh Ara. Sean menghembuskan nafasnya secara kasar, ia beranjak ke kamar mandi. Menghidupkan kran air.

Ara menyusul "Lo ngapain?"

"Ini air udah gue isi, isinya air hangat. Lo gak bakal kedinginan lagi."

"Tapi Sean, i--,"

"Mandi Ra!"pekik Sean memotong ucapan Ara.

Ara masuk lagi dan melakukan ritual mandinya. Lagi-lagi perasaannya menghangat, Sean memperlakukan dirinya kembali baik lagi. Apakah ia akan jatuh lagi?

Holla, Sean kenapa labil sih. Author gak suka nih.

Ara dan SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang