20. Sean mengakui perasaannya

706 65 4
                                    

Jika memang kembali di hadapkan dengan pisah, kenapa Sean harus merasakan jatuh di hati Ara. Kenapa ia kembali merasakan peluk yang menghangatkan, rindu yang menjadi candu. Kenapa Tuhan tidak mengkontrol laju perasannya.

"Dari kecil, sakit dan penderitaan udah jadi sahabat aku. Kadang aku benci lahir dengan takdir yang begitu menyedihkan." Ara mulai membuka suaranya.

"Kenapa?"tanya Sean menatapa bola mata sendu yang terpatri di wajah Ara. Enggan menatap balik, Ara memilih untuk memejamkan bola matanya kuat-kuat.

"Untuk apa juga aku cerita di awal pertemuan kita? Toh, tidak mengubah apa pun kan? Lo tetap dengan hati yang membatu dan aku tetap pada takdir yang seharusnya."

"Sean? Setelah kamu tau bahwa aku akan pergi ke tempat yang gak bisa kamu jangkau, kamu hendak berbuat apa? Maksudku--apa yang akan kamu katakan setelah ini?" Ara menatapa manik mata Sean. Ia sulit memberitahu warna wajah yang terpatri di muka Sean. Seperti kalut, bercampur dengan teduh dan sendu yang enggan menyatu.

"Belum terlambat. Aku rasa masih ada waktu untuk bilang kalau aku sayang sama sama kamu,Ra."

Ara tertawa kecut "Kamu terlalu klasik Yan, bukankah pernyataanmu terdengar seperti orang yang berusaha membahagiakan manusia malang ini? Atau terdengar seperti hadiah sebelum kematian menjemput?"

"Ra--"

"Yan? Dengar baik-baik,"potong Ara. Kini ia menguatkan hatinya untuk menatap kedua netra yang tengah di rundung gelisah.

"Ungkapan perasaanmu gak bakal nahan takdir untuk tidak melakukan tugasnya. Kamu akui atau tidak, takdir akan terus berjalan."

Sean memeluk tubuh Ara. Erat dan semakin kuat "Aku gak mau kamu hilang Ra, aku gak mau." Sean meletakkan dagunya di puncak kepala Ara, posisi yang tanpa sadar menjadi tempat favoritnya.

"Jangan pergi Ra,"ujar Sean lirih bahkan terdengar seperti berbisik. Hati Ara menghangat, kala ia merasakan puncak kepalanya basah karna air mata Sean yang luruh.

"Aku sayang sama kamu,Yan, bahkan dengan kontras kamu tau itu."

Ara menghembuskan nafasnya "Tapi Yan, Aku gak bisa ngubah takdir. Aku hadir bukan untuk merubah jalan hidup yang Tuhan tetapkan untuk kita,aku hadir karna semata-mata aku cinta. Tidak peduli endingnya adalah ratap dan pisah." Ara menangis, Sean melepaskan rengkuhannya. Di pegang kasar lengan Ara, matanya menajam, dadanya bergemuruh, ia muak "Kenapa kamu memilih menjadi wanita penting dalam hidup aku kalau pada akhirnya kamu sendiri tau keadaan gak ngizinin kita untuk menyatu?" Sean mengeram, setiap kata kalimat yang ia ucapkan penuh dengan tekanan. Sean menghempaskan tangannya secara kasar dan duduk menyamping dihadapan Ara. Ia berusaha mengontrol emosi yang ingin meledak saat ini juga.

Ara mengingit bibirnya kuat-kuat, ia tidak tau harus berkata apa. Apakah salah seorang seperti Ara berusaha untuk bahagia sebelum ajal menjemput. Ara menggeleng lemah "Aku gak niat untuk nyakitin kamu Yan,"lirih Ara. Ia menatap punggung Sean, Ara tau Sean terluka. Dengan penyakit yang ia idap, tak ada lagi harapan untuknya bertahan.

"Se--an?"panggil Ara lirih. Ia tidak tahan lagi,Ara langsung merengkuh tubuh Sean, ia memeluk kuat tubuh yang mendadak lemah itu. Siapkah ia mengahadapi perpisahan? Setelah ini apa yang akan terjadi pada Sean? Akankah Ara sanggup jika dari singgasana ia menyaksikan Sean dengan wanita yang akan menggantikan posisinya.

Tak ada balasan dari Sean "Aku bangga pernah jadi bagian penting dalam hidup kamu, gak peduli selama ini kamu anggap penting atau tidak sama sekali. Setidaknya aku pernah jadi peluk yang menghangatkan,"ujar Ara sedikit terkekeh.

"Dan menjadi candu atas nama rindu,"sambung Sean membalas pelukan Ara. Rasanya ia tidak lagi mau menjadi bodoh dengan mengikuti egohnya, meski batinnya belum menerima kenyataan setidaknya akalnya masih berfungsi dengan sehat bahwa waktunya bersama Ara tidak lagi banyak.

Berbeda dengan Ara yang merasa geli dengan apa yang baru saja Sean utarakan. Ingin tertawa terbahak-bahak, bagaimana mungkin seorang Sean, manusia kutub utara mampu mengutarakan ucapan romantis seperti ini. Sejak kapan Sean berubah jadi puitis. Namun Ara paham, bukan waktunya menertawakan hal ini.

"Ra?" Sean menggenggam kedua lengan Ara "Jangan pergi,"ucapnya lemah dan terdengar seperti memohon. Ara tersenyum hangat, meski remang Sean mampu melihatnya.

"Maaf,"jawab Ara. Sean kembali memeluk tubuh wanita kecil ini. Entah bagaimana caranya membujuk Tuhan agar takdir boleh di ubahkan. Ara sengguguk, jika saja ia tidak mendengar pengakuan dari Sean, mungkin ia tidak akan semenangis ini.

"Aku gatau cara bujuk Tuhan biar kontrakku di bumi di perpanjang,"kekeh Ara.

"Ra? Bukan waktunya untuk bercanda."

"Iya,Yan. Aku serius. Aku udah usaha untuk sembuh tapi kanker itu lebih kuat dari aku." Kali ini Ara kembali melemah, kepalanya jatuh pada dada bidang Sean. Sudah cukup ia mendramatisir keadaan. Kehidupan untuk Ara adalah perjalanan yang sangat kejam.Bukan Ara tidak ingin bersyukur namun rasanya ini tidak adil. Kenapa perasaan yang ia rasakan sejak lama baru di rasakan Sean saat detik-detik kematian mulai membayangi atma. Mengapa waktu enggan berseteru pada keadaan dan membiarkan bahagia mengambil peran dalam kehidupan Ara dan Sean. Mengapa Tuhan tega. Mengapa mereka tidak tertulis menjadi sepasang kekasih yang tak terpisahkan.
Dan pada akhirnya, Ara tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengapa yang memenuhi saraf otaknya.

Huaaa, jangan lupa vote dan koment yaa😭

Ara dan SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang