Tepat pukul dua dini hari, Ara bangun dengan mata sembabnya. Semalaman mereka habiskan menangisi sebuah takdir. Ia menggeliat dan merasakan ada tangan yang memeluknya dari belakang.Sean merasakan pergerakan Ara yang hendak meninggalkan kasur. Usut-usut takut Ara pergi dan tidak kembali lagi. Sean menarik tangan Ara dengan cepat "Mau kemana?"tanyanya dengan mata tertutup.
Ara tertawa kecil "Ke kamar mandi, lepasin ih. Kebelet." Sean melepaskannya, entahlah ia benar-benar takut jika kematian datang hari ini. Sean tidak sanggup jika harus berpisah dengan wanita yang sudah memindahkan alasannya untuk bangun pagi.
Ara duduk kembali duduk tak lupa ia menghidupkan saklar lampu kamar.
"Ngapain duduk?"tanya Ara menatap Sean yang kini menatapnya.
"Kenapa diri?"jawab Sean asal.
"Dih, orang nanya apa jawab apa. Mirip Joko sembung bawa golok."
"Gak nyambung goblok, gitu?"kekeh Sean.
"Hahah kamu loh yang ngomong bukan aku." Ara mengambil ponselnya, jam masih menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit.
"Kamu istirahat deh,Yan, ini udah subuh aku gak mau loh kita mati di jalan karna kamu ngantuk."
"Kamu yang istirahat."
"Eh--kamu tau dari siapa aku sakit? Kak Iris ya?" Sean tidak menjawab, perhatiannya masih terpusat pada wanita yang tampak santai ini.
"Apaan sih? Ngapain ngeliatin aku?"decak Ara, pasalnya jantungnya berolahraga tepat di jam subuh.
"Kenapa? Salting ya?"kekeh Sean.
"Apaan sih, biasa aja kali,"kilah Ara sembari menscroll ponselnya. Sean benar-benar menyebalkan, entah kenapa netra matanya mampu memicu detak jantung tak beraturan.
"Kalau biasa aja coba tunjukin wajahnya?"tantang Sean nakal.
"Apaan sih Sean, alay deh."
"Hahhah, blushing hem?"ledek Sean mengusap pipi yang sedari tadi menunduk ke bawah. Sean tau, ponsel yang sedari tadi Ara mainin hanyalah perlarian.
"Ih--berhenti godain aku deh."
"PD banget, siapa juga yang godain,"kekeh Sean. Sean berdiri dan mengambil botol mineral di nakas.
"Ra? Ada yang mau kamu kunjungi gak?"
"Sebelum kematian?"
"Ra,"decak Sean. Kali ini matanya menatap Ara tajam. Ara nyengir menunjukkan giginya yang rapih.
"Heheh, mukanya gak bisa di ganti?Serem tau." Ara mencebikkan bibirnya. Sean mendekat, di usapnya pelan puncak kepala Ara "Maaf ya." Ara mengangguk.
"Kamu sayang aku gak?"tanya Ara.
"Cinta malah."
"Ke diskotik,yuk."
Uhuk-uhukkk
Sean terbatuk-batuk, mengeluarkan sedikit air dari mulutnya. Ara segera memberi kan tissu padanya. Sean merasakan ada yang aneh dari wajah Ara, tampak pucat.
"Kita balik ke Jakarta ya,wajah kam--,"
"Enggak papa,"potong Ara dengan senyum hangat di wajahnya. Ia mengambil beberapa pil dari tasnya dan menelannya. Sean duduk, memperhatikan apa yang akan di lakukan Ara selanjutnya. Ara meletakkan kepalanya di paha Sean, memejam untuk mengusir pusing yang mendera "Izin tidur di paha kamu ya,"kekeh Ara sembari menutup matanya.
"Anything for you,"ujar Sean mengusap sayang kepala Ara.
Tidak! Jangan sekarang! Setidaknya Tuhan harus membiarkan Ara melakukan sesuatu untuk hal manis sebagai pengingat jika nanti dirinya pergi. Sean tidak bergerak meski Ara tidak terisak ia mampu membaca raut sakit dari wajah Ara.
"Sakit banget?" Akhirnya pertanyaan yang ia tahan lepas begitu saja. Ia terus mengusap lembut rambut Ara.
"Sedikit,"jawab Ara bohong. Rasa sakitnya tidak sedikit namun banyak bahkan sangat sakit.
"Sean,aku beneran penasaran sama diskotik. Kak Iris gak pernah mau nemenin kesana."
"Terus?"
"Ayo, ajak aku kesana."
"Untuk?"
"Hiss." Ara mencubit pelan perut Sean, Sean hanya berjengkit "Ya untuk tau dunia malam lah. Aku penasaran diskotik itu gimana, joget-joget gimana, bau alkohol gimana."
"Nonton youTube kan bisa."
"Ya bedalah ih."
"Ayolah Yan,"rengek Ara lagi. Kali ini suaranya terdengar menggemaskan. Sekuat tenaga Sean menahan diri agar tidak luluh dengan suara lucu milik Ara.
"Enggak."
"Kamu tau gak? Kalau ada orang meninggal tapi penasaran arwahnya pasti gentayangan,"kekeh Ara. Sean diam,ia membenci moment dimana keadaan harus memaksanya menerima kenyataan yang ada;perihal kematian. Siapa yang menyukai topik kematian? Tidak ada!
Ara duduk,ia rasakan Sean kembali sendu. Ia menyenderkan kepalanya di bahu Sean "Maaf ya tapi kamu harus tau;semua yang lahir akan mati. Semua yang tercipta akan menjadi kenang. Semua yang ada hanya titipan. Aku atau pun kamu, semua akan berpulang. Yang berbeda hanya waktu dan cara perginya aja."
"Ra, please--,"
"Ssttt.."potong Ara.
"Aku gak mau ngasih kamu harapan, seakan-akan aku hidup lebih lama lagi. Aku gak mau kamu kecewa dengan harapan palsu, aku gak mau kamu benci aku suatu saat nanti,aku--," Ara terisak dan Sean sudah tidak tahan lagi. Ia merengkuh tubuh Ara, di ciumnya beberapa kali puncak kepala wanita kesayangannya ini. Ia tau bahwa Ara hanya sedang mengajarkan sebuah kenyataan padanya akan tetapi entah kenapa Sean menolak untuk menerimanya.
Sean mengalihkan pandangannya. Ini adalah pembahasan yang ingin ia hindari "Yaudah, siap-siap. Kita pergi. Aku tunggu di luar ya, cuci muka kamu," Sean mengusap bekas air mata di wajah wanitanya lalu ia tersenyum samar sembari mengacak rambut Ara.
Sean berlalu, Ara menatap nanar punggung itu. Menggeleng dan mangamit sweaternya. Tak lupa ia pun merapihkan sedikit tampilannya.
Jangan lupa vote🌺
KAMU SEDANG MEMBACA
Ara dan Sean
Romance(END) Bertemu dengan Sean yang notabenenya jutek, aneh, tidak bisa di tebak, kadang manis buat diabetes tapi tetap datar dan kalau bicara pedas--ngalahin sambalado masakan emak. Ara si wanita pecicilan, petakilan dengan suara toa-nya tidak pernah me...