Ceklek
"Sean hu..hu..hu." Laura menubruk tubuh Sean yang sedari tadi sibuk dengan dokumen keuangan perusahaannya.
"Lepas,Lau,"ujar Sean risih.
"Sean--mami masuk rumah sakit lagi. Mami drop hiks, aku gak tau harus gimana lagi. Papi gak bisa di hubungi hiks."
Sean dilema. Antara mengusir wanita ini atau mengusap punggungnya. Sedari dulu Laura memang menganggu dirinya hingga Sean mulai terbiasa dengan kehadiran Laura dalam hidupnya.
Sean menghela. Ia berdiri dan menarik Laura dengan lembut ke pelukannya sembari mengusap punggung wanita yang sedang menangis ini. Sean berharap dapat memberi sedikit ketenangan untuknya.
"Jangan nangis. Mami mu bakal baik-baik saja."
"Tapi aku takut, aku takut hal buruk menimpa mami hu..hu..hu."
"Buang pikiran negatif itu." Sean melepaskan pelukannya dan memegang kedua lengan Laura "Mending berdoa dan urus tiket kepulanganmu ke Belanda."
"Sean tapi aku takut. Kamu gak bisa temenin aku?"
Sean lelah. Pasti ujung-ujungnya adalah minta di temani. Tapi ia pun tidak tega. Biar bagaimanapun jika hal menyangkut orangtua apalagi seorang ibu maka Sean tidak akan pernah bisa menolaknya.
"Oke,kita ke Belanda. Tapi hanya bisa dua hari saja, kantor gak bisa ditinggal lama-lama."
Wajah Laura berbinar, Laura yakin bibit yang ia tanam sudah mulai tumbuh sedikit demi sedikit di hati Sean.
"Makasih ya,Yan. Aku pulang dulu, takut ganggu kamu." Laura berbalik namun Sean menghentikannya "Lau---tunggu."
"Biar saya anter."
Lagi-lagi Laura terpekik senang meski dalam hati. Sean pelan tapi pasti mulai berubah menjadi pria yang manis. Pria yang menginginkan hadirnya.
"Gak usah,Yan. Kamu pasti sibuk kan?" Laura menunjukkan rasa tidak enak hatinya.
"Yaudah sih bang kalau dia gak mau dianter, ngapain maksa!"ketus Sea tiba-tiba hadir.
"Iya gak usah,Yan. Aku gak enak hati."
"Akhirnya tau diri juga!"
"Sea? Your language,"tegur Sean. Sekalipun Laura menyebalkan ia tetap tidak suka sikap ketidaksiapan yang Sea tunjukan.
"Udah jangan berantem, aku pergi Sean."
"Sok manis lu!"ketus Sea.
"Sea!"bentak Sean tanpa sadar menaikkan satu oktaf suaranya. Bukan hanya Laura yang terkejut, Sea pun sama. Laura dengan terburu-buru keluar dari ruangan Sean dengan senyum yang tidak bisa di baca.
Mata Sea mulai memerah, ia tidak pernah di bentak oleh Sean. Lebih baik Sean bicara ketus dan meledeknya habis-habisan dari pada harus di bentak dengan suara yang tinggi.
"Sejak kapan kamu tidak sopan seperti ini. Ha? Jawab!" Sea memejamkan matanya kuat-kuat, ia tidak tahan dengan suara yang tinggi. Sea memilih untuk lari dan membanting pintu ruangan Sean. Sean menahan emosinya. Ia merasa tidak di hargai oleh adiknya sendiri.
Dan kenapa juga dia bisa lepas kontrol membentak adik sematawayangnya itu.
***
"Mungkin Sean lagi banyak pikiran makanya sensitif,Dek. Jangan kaya anak kecil deh, balik sana,"ujar Randy. Pasalnya Sea tidak pulang kerumah dan memilih bersembunyi di kantor Randy yang merupakan anak cabang dari perusahaan papanya."Iya gak usah bentak-bentak juga kali. Ini semua karna noni Belanda itu. Pokoknya Sea gak mau kalau sampai abang jatuh cinta sama dia!"
"Sea--kamu gak boleh gitu. Biar bagaimana pun Sean boleh jatuh cinta pada siapa aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ara dan Sean
Romansa(END) Bertemu dengan Sean yang notabenenya jutek, aneh, tidak bisa di tebak, kadang manis buat diabetes tapi tetap datar dan kalau bicara pedas--ngalahin sambalado masakan emak. Ara si wanita pecicilan, petakilan dengan suara toa-nya tidak pernah me...