24. Ara pergi untuk selamanya

860 61 0
                                    

Ara duduk di tepi pantai, membiarkan kakinya basah di hujani desiran air laut. Sean sibuk dengan tenda yang sedang ia dirikan.

"Ra? Susun kayu bakar, buat ntar malam."

"Mager, ntar aja,"teriak Ara. Sean berdecak dan menggelengkan kepalanya. Tenda sudah berdiri dengan megah, ia berjalan dan duduk di sebelah kanan Ara.

"Sunset jam berapa ya?"tanya Ara penasaran.

"Jam lima. Satu jam lagi."

"Aku merasa gak kuat Yan,"ujar Ara. Sean menegang, apa maksud dari perkataan wanita disebelahnya. Tidak mungkin, Ara tidak boleh pergi.

"Katanya mau liat sunset, bertahan ya." Sean melembut, di usap puncak kepala Ara dan di bawahnya Ara ke pundak kirinya. Ara mengangguk dan mencoba untuk menahan sakit yang kian terasa. Doa demi doa ia langitkan, berharap sang Empunya langit dan bumi mau memberikan Ara sedikit waktu lagi untuk bertatap dengan senja.

"Sean, nanti kalau aku pergi kamu harus bisa melanjutkan hidup ya."

"Aku gak janji,"jawab Sean penuh dengan siksaan.

"Harus janji. Aku gak mau ninggalin beban ke kamu." Sean memilih diam. Lagi pula ia tidak memiliki kalimat untuk menjawab pertanyaan Ara.

"Nanti kalau kamu rindu aku tengah malam,kamu tatap purnama setengah, pastikan itu wajah aku yang lagi senyum sama kamu."

Ara mencari posisi nyaman di dada Sean dan Sean membiarkannya.

"Kalau kamu rindu sore, lihat aja senja. Tapi lihat senja yang belum utuh jangan lihat senja secara utuh."

"Kenapa?"tanya Sean.

"Karna aku gak mau kamu menyaksikan kepergian senja. Aku cuma mau kamu mengingat bahwa hadirku serupa dengan indahnya senja. Ketika senja ingin tenggelam, kamu jangan pandangi lagi. Datanglah esok lagi untuk kembali menatapnya." Sean tidak mengerti kemana arah kalimat yang sedang ia dengarkan ini.

"Sean? Sejatinya aku dan ragaku lah yang akan pergi tapi tidak dengan kenanganku. Aku bisa mati tapi kenanganku tidak akan pernah bisa mati. Sama seperti senja, senja hanya menampilkan wajahnya di sore hari dan kita harus menunggu sore berikutnya untuk kembali melihat senja."

"Aku pun sama, kita pasti akan kembali bertemu sekalipun di dimensi yang berbeda maka dari itu kamu jangan menatap perginya senja karna itu hanya akan mengingatkan tentang kepergianku dan kenanganku."

"Sean, aku mau egois. Tolong, lupakan aku. Untuk itu kamu aku larang menatap tenggelamnya senja karna kenangannya akan mengores lama."

"Lembayung senja dan semburatnya hanya akan mengisahkan kisah untukmu. Dan itu akan membuatmu sulit untuk beranjak."

"Aku gak ngerti Ra, tadi kamu suruh aku datang kembali ke senja sekarang kamu suruh aku untuk lupakan semuanya,"jawab Sean. Jujur ia bingung dan tidak mampu menyatukan pecahan kalimat dari Ara.

"Haha iya juga. Intinya senja yang tak utuh hanya mengisahkan tentang keindahan dan aku mau menjadi senja yang tak utuh itu. Sedangkan senja yang utuh dan turut tenggelam hanya bisa meninggalkan kenangan. Dan aku--juga mau menjadi kenangan. Tapi--"

"Kebanyakan kenangan hanya mengundang luka dan pilu dan aku mencabut keinginanku untuk menjadi senja yang tenggalam."

"Sean--,"panggil Ara lirih. Sean menatapnya.

"Aku gak kuat. Aku izin per--"

Sean pucat, ia mencium kening Ara dengan terburu-buru "enggak sayang, kamu harus liat senja secara utuh, sebentar lagi dan bertahan lah."

"Kamu tau kein--ginanku menjad--i senja yang tak utuh dan aku ingin memujudkan--nya." Suara Ara mulai terbata, Sean semakin panik. Ia menggelengkan kepalanya.

Ara ambruk, tepat saat senja mulai malu-malu menunjukkan ronanya.

"Tidakkkkkk,"pekik Sean. Air mata Sean luruh dengan Ara yang sudah terbujur kaku di lengannya.

"Ara bangun hiksss--"

"Sayang bangun,"tangis Sean terdengar tragis di telinga siapa pun yang mendengarnya. Ia menyesali waktu mengapa ia tidak berkesempatan untuk menyatakan cinta pada wanita yang sudah tidak bernafas ini.

Buru-buru Sean mendial nomor seseorang, tak mungkin ia membawa Ara dengan motornya. Namun, siapa sangka Ara sudah mempersiapkan segalanya. Mobil datang tepat waktu. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Ara sudah menyiapkan kematiannya secara rapih.

"Denyut nadinya masih ada,"ujar seorang pria yang mambantu Sean membawa Ara ke mobilnya.

"Tapi sangat lemah,"jawabnya lagi.

Ara dan SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang