15. Ara takut.

759 60 0
                                    

Seperti terdakwa, kini Sean menatap jengah ketiga manusia di depannya. Dari weekend yang berakhir buruk, di permalukan secara terang-terangan, kini mereka membujuk dengan sangat keras agar Sean turut serta ke Bandung. Kapan Sean bisa beristirahat? Pekerjaan dan tuntutan masalah perusahaan membuat dia kehilangan konsentrasi dalam melangkah.

Panas mendengar rengekan Ara, Citra dan Randy, akhirnya Sean memilih menyerah. Menghidupkan motor dengan dongkol yang terasa. Membelah lintasan Jakarta-Bandung.

Jam masih menunjukkan pukul setengah tiga. Ara yang tidak tega melihat Sean beberapa kali menguap, merenggakan tangan di persimpangan lampu merah, akhirnya memutuskan untuk mencari penginapan atau sejenisnya.

"Kita beda kamar?"tanya Ara polos.

"Mau lo? Sekamar? Yuhuu, ketagihan nih,"kekeh Randy yang langsung mendapatkan jitakan di kepalanya. Siapa lagi pelaku yang berani selain Citra.

"Yaudah gruls, kita ke kamar dulu ya. Supir ngantuk,"ucap Randy meninggalkan Citra dan Ara. Kamar mereka berjarak empat kamar, hotel cukup penuh.

Ara sedikit horor dengan kamar yang mereka tempati, seperjalanan mereka ke kamar beberapa kali mereka melihat om-om dengan perut buncit mengandeng anak remaja yang mereka tebak seumuran mereka.

"Ayo Ra,buruan, gue ngeri." Tak ada bedanya, Citra pun merasa takut. Padahal hotel yang mereka pesan bukan lah hotel odong-odong.

Ara menghempaskan tubuhnya di ranjang empuk. "Udah lo kunci kan?"ujar Citra memastikan. Ara mengangguk.

Citra membersihkan tubuhnya, sedangkan Ara menghubungi seseorang yang harus mengetahui keberadaannya.

"Kapan lo balik?"tanya Citra.

Ara duduk, mencerna kemana arah pembicaraan ini. Citra bukanlah teman jauh bagi Ara. Citra tau segalanya. Tentang deritanya. Tentang kepergiannya. Namun, Citra adalah teman yang amanah. Tidak pernah terdengar sedikit pun kisah Ara bocor dari mulut Ara.

"Mungkin seminggu lagi. Tapi gak tau deh, kak Iris yang atur semuanya."

Ya, sekali pun Ara seterbuka ini pada Citra, untuk hal ini Ara mencoba merahasiakannya. Rasanya ia kembali sulit percaya pada Citra atau mungkin lebih tepatnya berjaga-jaga. Takut semua rencana yang Ara susun menjadi hancur berantakan.

Ngantuk menyeruak, Ara dan Citra membaringkan tubuh yang terasa encoknya. Perjalan Jakarta - Bandung bukanlah perjalan yang dekat apalagi singkat. Di tambah lagi mereka mengendarai sepeda motor. Punggung, pinggang dan bokong panas bak terbakar.

Tok-Tok-Tok.

Mereka diam. Saling berpandang. Siapa yang bertamu? Resepsionis kah? Tidak mungkin. Mereka sedang tidak
Ketakutan pertama kali terpatri di wajah Citra. Ara coba bangkit, mengintip barangkali itu adalah petugas hotel.

Untungnya pintu ini memiliki celah, di lobang yang seharunya kunci tergantung, Ara mengintip. Ia terkejut, bapak-bapak berkumis tebal dengan perut buncit berdiri tepat di pintu mereka. Ara menutup mulutnya. Ketakutan menjalar.

Citra kaku, ia bertanya lewat alis yang bertaut. Ara hanya menempelkan telunjuk di bibirnya. Kemudian Ara mengetikkan sesuatu, memperingatkan agar mereka tak bersuara dan segera menghubungi Randy. Dan sial, ponsel Randy tidak aktif.

Ara mencoba mendial nomor Sean. Terhubung tapi tidak di angkat. Mungkinkah mereka sudah tidur? Ini masih terhitung setengah jam dari perpisahan mereka di koridor hotel.

Ara terus mencoba, tangannya bergetar kala ketokan itu semakin kuat.

Ini hotel apa, ya ampun, batin Ara.

"Halo,"ujar Sean di sebrang sana. Suaranya khas orang bangun tidur. Mungkin Sean lelah, dan tak membutuhkan banyak waktu untuk tidur.

"Sean, kita takut. Ada bapak-bapak yang ngetuk pintu kamar kita,"bisik Ara.

"Lu ngomong apa sih? Bisik-bisik, gue ngantuk."

"Sean, ada bapak-bapak di depan kamar kita. Kita gak kenal."

"Ha?"

Ara menutup ponselnya, ia mengetikkan pesan kepada Sean. Sial, sudah lima menit Sean tak membacanya.

Ara terus menghubungi Sean.

"Apaan sih, gue ngantuk,"bentak Sean. Ara terdiam, Citra menarik ponsel dari tangan Ara. Citra berhambur ke kamar mandi, di tutupnya pintu kamar mandi. Di hidupkan kran air, guna supaya suaranya tidak terdengar.

"Sean, bego anjir, ini ada bapak-bapak di depan kamar kita,"teriak Citra tak sabar. Bagaiamana jika bapak-bapak ini mendobrak pintu kamar mereka? Bisa kehilangan aset berharga.

"Ngapain?"

"Ngetuk pintu. Buruan ih, kita takut, bangunin Randy."

"Nyusahin."

"Bangsat, lu aja yang milih hotel gak jelas. Buru begok, lu mau kita kehilangan keperawanan?"

Tut.

Ponsel Ara mati. Gila. Ini bahaya.

Ceklek.

Ara membeku. Citra pun begitu. Mereka saling menggenggam. Dari mana pria berkumis tebal ini bisa masuk? Ini hotel atau tempat hal tidak senono.

Tampak tawa bejat di wajah pria ini. Peluh membasahi kening Ara.

"Ma--u, apaaa?"tanya Citra terbata-bata.

"Hahah, saya mau apa? Kenapa kalian bertanya?"

"Keluar!"bentak Ara.

"Aduh cantik, saya sudah susah-susah masuk kalian suruh keluar."

Mata Ara memerah. Citra pun sudah menangis. Kemana Sean? Kemana Randy? Mengapa lama sekali. Bagaiamana jika pria ini? Astaga. Tidak.

Kuku Ara memutih. Kakinya lunglai. Pria ini semakin dekat dan aroma alkohol mulai menyeruak. Ini benar-benar gila. Bagaimana pria ini meneguk alkohol di jam sore begini? Di saat matahari masih terang-terangnya.

"Mau apa? Stop, jangan mendekat!"bentak Citra. Mereka terus terpojok.

Bugh.

Holla, rindu kalian.
Jangan lupa vote yaa 🙂

Ara dan SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang