17. Kapan ungkap cintanya?

680 68 1
                                    

"Lo mau kemana?"

"Mandi!"ketus Ara. Pasalnya ia sudah sangat lapar malam ini. Hanya dengan mandi untuk meredam kebosanannya menunggu Randy dan Citra membawa sebongkah makanan untuk dirinya.

Sean acuh. Dia duduk. Tak bisa di pungkiri, ia pun lapar. Ia menoleh, mendapati cemilan berserak di meja.

"Dasar micin,"ujar Sean menggelengkan kepalanya.

"Sean?"teriak Ara.

"Sean?" Lagi. Sean hanya diam dan membiarkan suara toa Ara begitu saja.

"Ih, Sean? Lo meninggal? Ih serius bego!"

"Apaan?"jawab Sean jengah. Jika Ara terus teriak, bisa di pastikan petugas akan mengetuk kamar hotel.

"Ini, odol habis."

"Terus?"

"Mintain ke resepsionis dong. Perasaan masih ada kemaren, lo makan ya?"

"Gue tau lo lapar tapi gak makan odol juga."

Krik-krik.

"Sean?"

Merasa capek sendiri, Ara diam dan melanjutkan rutinitas mandinya tanpa menggosok gigi. Ara keluar dengan wajah kesal. Semakin perutnya ternodai oleh air, semakin pula lapar melanda.

Ia mengeram. Menghitung detik untuk maghnya kumat. Ia menatap Sean yang sangat terlihat tidak peduli padanya. Lihatlah, pria itu malah tertidur tanpa dosa. Andai Ara mati, mungkin Sean manusia pertama yang akan di cekiknya.

"Sean?"lirih Ara.

"Bangun hiss, gue lapar."

Tak ada respon, Ara duduk di lantai. Ia berjongkok lalu menenggelamkan kepalanya di sofa. Benar saja, magh sialan kumat lagi. Ia benar-benar lapar. Ara menarik bibirnya bahkan sekali-kali ia mengigit bibirnya agar isakan tidak lolos dari mulutnya. Matanya berair, tangan kanannya ia gunakan untuk menutup mulutnya dan tangan kirinya menekan bagian perut yang melilit.

Sean tidak benar tidur. Dia hanya sedang memikirkan sesuatu dan sekaligus menghindari ocehan Ara yang kadang unfaedah di telinganya. Sean membuka matanya, menajamkan pendengarannya.  Tidak salah lagi, ia mendengar ada tangisan kecil.

"Ngapain lo?"tanya Sean menatap punggung Ara yang bergetar.

"Ra?" Sean sedikit melunak. Mengapa wanita ini menangis? Sean mendekat, memegang bahu Ara.

"Kenapa?"

"Lapar,hiks,"ujar Ara masih tetap menutup wajahnya.

"Terus dengan nangis lo bisa kenyang?"

"Ini magh--nya hiks, kum--at hiks."

"Kenapa gak ngomong?"

Ara tidak menjawab, ia berusaha meredam  sakit yang ia rasa.

"Udah jangan nangis." Sean benar-benar payah dalam menghibur seseorang. Lihatlah, dia bahkan belum berhasil membuat Ara menampilkan wajahnya.

"Ra? Gue gak paham, gue harus apa?"tanya Sean frustasi.

"Keluar yok, kita berobat."

"Ra? Lo gak mati kan?"

Ara menatap Sean. Wajahnya tampak pucat, mukanya basah.

"Beliin promag atau mylanta atau sejenis obat magh,"ujar Ara memohon. Sean iba, ia tidak pernah melihat wajah wanita pecicilan ini semengerikan ini.

"Ka-mu, gak pa-pa..?"tanya Sean.

"Pus--ing,"lirih Ara. Sean memeluk tubuh Ara. Ia tidak berbuat apa-apa selain mengusap punggung Ara. Sean merasakan nafas Ara sudah kembali beraturan, ia mengangkat tubuh Ara dan mendial nomor seseorang.

Sean--entah apa yang perasannya rasakan. Ia cemas tapi bingung. Jika ia keluar, siapa yang menjaga wanita ini.  Tapi berdiam diri pun tak bisa menyembuhkannya.

"Buruan Ran,"ujar Sean berbicara di ponselnya.

"Di tas Citra ada promag, lo kasih Ara itu dulu."

"Dia juga butuh makan bego,"ketus Sean.

"Di tas Citra ada roti, buat nge ganjel dulu. Obat dulu yang lo kasih, setelah itu diamin lima belas menitan terus kasih dia roti. Disini macet dan kita ter--"

Bip
Sean menutup ponselnya. Ia mencari obat yang Randy katakan.

"Ra? Bangun dulu, minum obat gih,"ujar Sean melembut.

"Besok aja,"ujar Ara dengan mata terpejam.

"Sekarang Ra, sakitnya kan sekarang bukan besok."

"Ra? Minum obat setelah itu kamu boleh lanjut tidur."

Sean mengeram. Kesabarannya benar-benar di uji, ia tidak pernah membujuk wanita. Sekali pun Indah, ia tidak pernah semanis ini.

"Ra? Denger gue gak sih? Itu asam lambung lo butuh obat,"ujar Sean lagi. Kali ini suaranya tidak selembut pertama kali ia membujuk Ara.

Ara bangun dengan malas. Ia menutup matanya. Sakitnya sedikit reda tapi nyeri masih tetap terasa.
Sean membuka satu tablet obat berwarna hijau tersebut "buka mulut kamu,"ujar Sean memasukkan obat ke mulut Ara.

"Nih minum dulu,"ujar Sean menyodorkan segelas air.

"Matanya di buka, seram anjir,"ujar Sean. Pasalnya Ara masih betah dengan mata terpejam.

Ara kembali meletakkan tubuhnya di kasur tanpa menerima air putih dari Sean. Sean menggeleng dan membiarkannya;yang penting adalah ia sudah memastikan bahwa Ara memakan obatnya.

Tangan Sean terulur untuk mengusap puncak kepala Ara. Ia ikut menyibakkan selimut. Tak lupa Sean mematikan lampu kamar hotel ini. Ia memeluk tubuh Ara yang memunggunginya.

Ra, biarkan perasaan abu ini berubah warna. Cepat sembuh ya,batin Sean. Ia mencium puncak kepala Ara. Kali ini Sean enggan menghindari suara hatinya. Ia sadar, bahwa ia sudah jatuh hati pada Ara. Rasa ingin menjaga, rasa khawatir, rasa cemas yang hadir, Sean rasa cukup menjelaskan perihal apa yang hatinya rasakan.

Ara dan SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang