19. Sudah tiba

662 66 6
                                    

"Pada intinya,gue cuma mau lo bahagia in dia."

"Kenapa?"tanyanya.

"Ha?"

"Kenapa harus dia?"tanya pria tersebut. Wajahnya terlihat kalut.

"Lo gak bisa menerka takdir Tuhan."

Wanita itu berlalu membiarkan pria dengan jaket tebalnya merenung. Ia paham, sangat dengan paham bahwa menerima kenyataan tidak semudah pada kalimat yang lolos dari mulut.

***

Seorang wanita di pusat perbelanjaan merenggut kesal. Dia pikir Sean berubah menjadi pria yang ontime. Yang omongannya bisa di pegang. Ara salah besar jika harus mempercayai ucapan Sean. Lihatlah, jarum jam sudah menunjukkan pukul enam sore, jangan kan batang hidungnya, pesan saya tidak di baca pria itu.

Setan : Keluar ke halter!

"Ck, berubah kek,lo!"

Ara mengambil helm dengan merenggut. Malas bicara, Ara menaik tanpa bicara yang hampir saja membuat keseimbangan Sean hilang, untungnya kakinya langsung menahan agar dirinya dan Ara tidak jatuh.

"Brutal amat sih,"decak Sean. Ia mengunci kaitan helm fullfacenya.

"Mikir,"pekik Ara tanpa takut.

"Maaf ya,"ujar Sean membawa motornya meninggalkan Jakarta. Ara mengerjap, sekali pun tidak begitu jelas tetap saja radar telinganya mendengar bahwa Sean mengucapkan maaf. Seorang Sean Tan--benarkah ini adalah Sean? Atau dia salah naik motor? Tapi tidak mungkin, jelas-jelas ini adalah Seannya.

"Pegangan,"ujar Sean mengarahkan wajahnya ke arah kiri, berharap suaranya sampai di telinga wanita yang sedang di boncengnya.

"Biar apa?"

"Biar gak jatuh lah, make nanya!"ketus Sean. Ia lupa bahwa selain ceroboh, Ara juga bodoh.

Ara mengerjap. Dia kira Sean akan kembali lembut seperti terkahir kali mereka ngobrol beberapa hari lalu. "Sean? Kamu ada masalah?"tanya Ara bingung. Ia tidak suka canggung mendarat di hubungan mereka. Tak ada jawaban, mungkinkah Sean tidak mendengar pertanyaan Ara? Baiklah, bisa jadi Sean tidak mendengar berhubung angin dan suara motor menderu menjadi satu.

Tidak ada salahnya Ara mengulangi pertanyaannya lagi "Sean? Lo ada masalah?" Kali ini suara Ara tampak sedikit berteriak tapi tetap saja tak ada jawaban. Dan Ara memutuskan untuk diam saja--toh,nanti juga Sean akan bicara dengan sendirinya.

****
Ara mendaratkan bokongnya di rest area kisaran puncak. Ia pikir Sean akan langsung membawanya ke villa seperti biasanya. Ara diam, ia juga tidak ingin menganggu mood Sean yang mungkin saat ini sedang berantakan.

Tanpa menunggu Sean turun, Ara sudah pergi terlebih dahulu---tepat di pinggir puncak. Dari sini Ara bisa melihat kota Bogor meski dalam bentuk lampu-lampu saja.

"Sean? Sini,"panggil Ara. Ia melupakan bahwa ia sedang dalam mode mendiami Ara.

"Liat deh, keren gila,"ujar Ara saat ia melihat Sean berjalan mendekat ke sebelahnya. Ara tersenyum, dari sini ia benar-benar takjub dengan kota hujan ini.
Senyum Ara luntur kala Sean memeluk bahunya. Lebih tepatnya Ara membeku, jantungnya berdebar kencang. Sial, entah kenapa ia menjadi gugup saat ini---apalagi mendapati tatapan aneh dari mata Sean.
Ara menggigit bibir bawahnya, ia memberanikan diri untuk berdehem.

"Sejak kapan?"tanya Sean. Matanya tak lepas dari wanita di sebelahnya ini. Ara membeo, ia tak tau apa yang sedang Sean pertanyakan.

"Kenapa lo sembunyiin?"

"Maksudnya?"tanya Ara bingung. Entah kemana arah dari pertanyaan ngambang Sean ini.

"Kenapa milih berusaha menjadi penting kalau akhirnya kamu sendiri tau bahkan pergi ninggalin aku?"

Deg!!
Apa maksudnya? Ara benar-benar tidak mengerti. Dan---

Ara membeku. Tidak mungkin Sean tau. Kalau pun mungkin dari siapa? Citra? Ah---rasanya sangat tidak mungkin mengingat Citra tak mengetahui hal ini. Randy? Apalagi dia. Dan kak Iris---tidak mungkin karna Ara yakin Iris tidak pernah terlepas dari pandangannya--jadi dari mana ia bertemu dengan Sean. Tapi bisa saja via telepon tapi itu juga sangat mustahil. Ara ingat bahwa kakaknya itu tidak memiliki nomor pemuda ini.

"Sean, kita omongin di villa aja ya?"ujar Ara kikuk. Sean tidak menjawab namun ia melangkah menjauh. Ara menatap punggung Sean yang berjalan ke tempat mereka memarkirkan motornya. Bahu Ara melorot lemah, mungkin ini saat yang tepat untuk ia menceritakan pada Sean. Lagi pula, waktunya tidak banyak lagi sebisa mungkin ia harus manfaatin  sebelum semua terlambat.

***
Ara merenung. Ia mencoba bersekongkol dengan pikirannya. Benarkah ini saatnya untuk Sean tahu. Mungkinkah ini sudah waktunya untuk ia bercerita tentang apa yang ia sembunyikan. Benarkah ini masanya ia mengungkapkan penderitaan, sakit yang mendera dan masalah yang datang tanpa henti.

"Ra,"panggil Sean lagi.

"Aku udah tau. Tugas kamu hanya menyakini ke aku kalau itu semua gak benar." Sean semakin mendesak dirinya. Ara menatap kosong kamar yang remang. Tanpa pencahayaan--hanya ditemani rasa yang mencekam. Sean menghela nafas kasar, mengapa wanita ini mendadak bisu. Kemana suara yang sering ia keluarkan.

"Ra, please. Aku gak paham harus bersikap seperti apa biar kamu gak bungkam. Cukup katakan kalau Iris itu bohong." Sean tampak frustasi, membujuk Ara bercerita setara dengan membujuk mamanya agar tidak memotong uang jajan sewaktu masa sekolah.

Kali ini, Ara yang mengeluarkan nafas kasar. Ia mencoba menyedot oksigen, berharap tenang turut memenuhi hatinya "Apa yang lo dengar, semua adalah benar,"ujar Ara yang mampu menghentikan aliran darah di sekujur tubuh Sean. Ini tidak mungkin.




Sebagai pembaca yang Budiman, mohon krisarnya GUYSS🤩

Ara dan SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang