Sudah sejam Ara menanti Sean, tak kunjung batang hidungnya kelihatan, bahkan untuk membunuh jenuh Ara sudah berkeliling di pusat perbelanjaan ini. Meski sudah setahun tidak bercakap dengan Sean, Ara mengingat betul karakter si pemilik nama lengkap Sean Tan itu.
Ara mengeluarkan ponselnya. Merecord dirinya yang sedang gabut "Hai guys, gue lagi di sini,"ujarnya sembari merapihkan rambut Ara di layar ponselnya.
"Gue lagi nunggu temen gue. Udah sejam, ngaret banget gak sih?"Ara mencebikkan bibirnya.
"Karetnya selentur karet gelang, ih gerah deh gue." Ara membagikan di snap WhatsApp. Tak lupa ia membisukan Sean.
Sean : Lo dimana?
Tanpa menunggu dua detik, Ara langsung membalasnya--memberitahu bahwa ia ada di pintu selatan.
Sean : Gw ngopi dulu ya.
Ara ingin membunuh Sean, dimana otaknya? Ara sudah di buat menunggu berjam-jam dan dengan santainya Sean duduk menikmati secangkir kopi.
Kalo gak lagi mau liburan aja, udah gue cekik Lo Seantan, dasar Sean setan,geram Ara.
Sean : keluar, ke halter.
Tanpa membalas Ara bergegas keluar gedung ini, merapihkan wajahnya yang kusut. Sean sudah staycool di motor besarnya.
"Lama,"ucap Sean pelan. Ingin rasanya Ara memaki Sean, namun ia takut rencana liburan di batalkan secara sepihak.
"Nih,"Sean memberikan helm berwarna hitam garis orange, Ara menerima tanpa suara.
Ara lupa caranya naik ke motor sebesar ini, terbiasa menggunakan mobil membuatnya kaku. Ya, Ara terbiasa dengan bus Transjakarta.
Ara memegang pundak Sean dengan kaku, ada yang aneh. Ara mendadak kikuk, ada rasa yang menjalar namun Ara tidak bisa menyuarakannya.
Sean menoleh sedikit ke belakang, Ara menggeleng sekaan memberi isyarat bahwa ia sudah siap. Sean membawa motor besar bewarna merah dengan kecepatan di atas rata-rata.
Sean mengadah ke atas kala rintik menemani perjalanan kami. Sial, hujan menghalangi mereka.
"Gak neduh?"teriak Ara sebab angin dan laju motor Sean bersautan. Sean hanya diam, namun berhenti di sebuah halte yang sudah ramai oleh para pengendara.
Ara turun tergesa-gesa, Sean menyusulnya. Tak ada percakapan diantara mereka, Ara yang petakilan mendadak lenyap. Mungkin sifat petakilannya lupa di bawa dan malah di tinggalkan di kost Iris.
Sean pun berdiri sampai akhirnya ia putuskan untuk duduk, Ara tetap membeku, berdiri dengan ponsel yang tak lepas dari tangannya.
Tidak ada yang menchatt Ara, namun beruntung hobby membaca dari Iris sudah menurun padanya. Ara membaca novel di aplikasi W berwarna orange di ponselnya.
"Mau minum gak?"tawar Sean. Ara menggeleng pertanda bahwa ia tidak haus.
Hujan sedikit reda, banyak pengendara yang melanjutkan kembali perjalanannya, begitu pun Ara dan Sean.
Sean memberi botol air mineral yang tadi ia minum, tanpa suara dan tanpa bicara. Entah Sean menyuruhnya untuk memegang atau membuang. Ara berusaha untuk mengerti, tidak mungkin Sean membuang air mineral yang jelas-jelas bervolume banyak ini.
Dingin menemani malam ini, bau hujan masih menyeruak di hidung Ara. Tidak ada yang memulai percakapan, Ara merasa canggung dengan Sean--tidak menyangka Sean sedingin ini.
Ara mencoba mengingat, yang ia tahu setahun yang lalu Sean memang cuek namun tidak kaku. Bahkan Sean tidak akan pernah diam untuk tidak menganggu Ara. Setahun tidak bertemu membuat banyak jeda yang menganggu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, macet mampu terlepas. Saat lampu berubah menjadi merah, Sean berhenti dan merenggangkan tangan dan tubuhnya.
Bagaimana ia tidak pegal, motor jenis ini memang menyusahkan. Tangan yang sibuk menarik kopling dan badan yang harus sedikit membukuk.
"Lo udah makan?"tanya Sean, meski bising Ara masih bisa mendengar dengan baik.
"Udah,"kilah Ara "Kalo Lo?"tanya Ara balik. Sean hanya menggeleng pertanda ia belum makan malam.
Sean melanjutkan perjalanannya, Ara sedikit mengantuk. Cuaca dingin bertemu dengan sunyi, tak ada suara yang tercipta.
"Cil? Kalo Lo ngantuk, pegangan ya,"teriak Sean di kecepatan motornya.
Bukannya mengantuk, jantung Ara malah berdetak kencang. Dari awal perjalanan Ara memang tidak memegang sedikit pun bagian tubuh Sean, Ara hanya menempelkan tangannya di ransel yang membatasi tubuhnya dengan punggung Sean.
Ara mencoba menggerakkan kedua tangannya ke sisi kanan dan kiri jaket Sean "Nanti Lo jatuh, pegangan,"ujar Sean lagi. Ara menutup matanya, mencoba menetralkan detak jantungnya.
Lampu merah memberi jeda sejenak dengan perjalanan, Sean kembali merenggangkan otot-ototnya, Ara membayangkan adegan Mr.S memegang tangan Ela--nihil, Sean tidak melakukannya.
"Villanya masih jauh?"tanya Ara.
"40 menit lagi kalau gak macet."
"Oke, yang penting bukan villa tempat lo memadu kasih sama indah,"kekeh Ara.
"Haha, gue gak mau loh nemenin cowok gagal move on," Sean memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat, Ara mendadak diam kala kerutan terpampang jelas di kantong mata Sean, pertanda lelaki itu sedang mengulum tawanya.
Ara salah tingkah, mencoba mengalihkan matanya pada keramaian Bogor. Beruntunglah, lampu segera berubah warna.
TERIMAKASIH SUDAH MENEMANIKU SAMPAI SEJAUH INI.
JANGAN LUPA VOTE.
AKU SAYANG KALIAN 🌹Nah Ara tuh suka banget nyingkat nama Sean.
Sekedar informasi , nama panjang Sean adalah Sean Tan.
Kadang Ara meledeknya dengan menggabungkan dua suku kata namanya.
Sean Setan atau Sean santan 😂Suka suka Ara aja deh ya.
Klik vote guys🌹

KAMU SEDANG MEMBACA
Ara dan Sean
Romance(END) Bertemu dengan Sean yang notabenenya jutek, aneh, tidak bisa di tebak, kadang manis buat diabetes tapi tetap datar dan kalau bicara pedas--ngalahin sambalado masakan emak. Ara si wanita pecicilan, petakilan dengan suara toa-nya tidak pernah me...