*dengarkan lagu di atas↑
✨✨
Natal 2019
KAMI berdua terdiam dengan pikiran yang sibuk mengumpulkan kesimpulan di kepala masing-masing. Sesekali, dia melirikku dengan ekor matanya yang tampak sendu. Dan, aku hanya bisa memaksakan senyum tipis supaya tidak membuat dia semakin jatuh.
"It's okay," kataku, beberapa saat kemudian. Aku mengulurkan tangan untuk mengusap kedua punggung tangannya. Dia gemetar. Ada sekumpulan air mata di kelopaknya, yang kemudian membuat hatiku hancur jadi keping-keping tak beraturan. Aku menambahkan, "Enggak apa-apa. Kamu boleh nangis. Kamu boleh mengeluh... Ini aku, Mas. Pacar kamu. Aku bukan orang asing, jadi enggak perlu bersikap misterius hanya untuk sembunyi. Kamu boleh sembunyi di pelukanku. I'll be your home. Sweet home."
Mas Bumi mengangkat wajahnya. Dia memandangiku sepersekian detik, sebelum akhirnya meletakan kepalanya di ceruk leherku. Dia terisak sampai aku bisa merasakan air matanya berjatuhan mengenai kulit di bawah leherku yang telanjang tanpa ditutupi sehelai kain pun. Kebetulan, aku sedang memakai baju dengan tipe shoulder-off—favoritku.
Hatiku hancur mendengar isak tangisnya. Benar ya, laki-laki yang menangis itu lebih terdengar hancur daripada perempuan yang menangis. Aku mengusap punggung lebarnya dengan gerakan naik-turun.
"Maaf," bisiknya.
Aku mengecup puncak kepalanya dan, "Kamu enggak salah, kenapa harus minta maaf?"
"Aku bakal ngerepotin kamu ke depannya, Giz."
"Siapa bilang?"
Aku terus mengusap punggungnya sampai dia merasa lebih baik. Setidaknya, sampai aku bisa mengajaknya membahas depresinya yang baru dia ketahui kemarin. Diam-diam, dia pergi ke psikiater untuk berobat. Tanpa aku. Dia baru memberitahuku satu jam yang lalu, setelah kami selesai menonton tayangan Netflix di kamarku.
Kata dia, depresinya muncul saat dia tengah memperjuangkan skripsi. Saat itu, untuk pertama kalinya merasakan kalut yang cukup parah, sampai dia tidak bisa tidur berhari-hari. Sebagai anak tunggal, banyak beban yang dia tanggung sendirian. Saat ini, dia sudah bekerja di tempat yang baik—menurutku, tapi ternyata dunia kerja memang sekejam itu, ya? Tidak ada yang namanya teman, kebanyakan justru lawan yang siap menerkam diam-diam. Aku sangat ingin meringankan bebannya, tapi aku juga hanya manusia biasa.
Dua bulan lalu, Mas Bumi berhasil wisuda. Dia pulang ke Depok hanya untuk mengambil barang-barangnya yang penting, karena dia berniat mau mencari kerja di Yogyakarta saja. Dia sudah memikirkan masa depannya, kalau dia mau membangun kehidupan di sini. Begitu juga denganku, yang kemungkinan besar akan mencari kerja di Yogyakarta supaya tetap dekat dengan dia.
Iya, iya! Aku budak cinta.
Dia berkata lirih, "Maaf, ya, Giz."
"No, don't say sorry."
Mas Bumi mengangkat wajahnya dari ceruk leherku. Dapat aku lihat dengan jelas mata sembabnya. Sorot netranya yang hancur dan merasa paling hina. Aku sangat tahu, karena aku juga pernah menderita mental illness. Dan, Mas Bumi juga yang menjagaku dengan sangat baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUMI & EVAKUASI
Fanfiction[Original Fiksi/🔞] - "Bukannya kamu yang bunuh dia? Kamu bilang, kamu mau membunuh orang itu untuk aku." (Brave Series #3) Jogja identik dengan hal-hal klasik, indah, dan romantis bagi banyak orang. Tapi, bagi Gizka, Jogja juga adalah rumah. Dia in...