Tiga hari, Jungkook memberikan waktu bagi sang ayah untuk berpikir. Apapun yang keluar dari mulut sang ayah, Jungkook akan mencoba untuk menerimanya.
Dan kini, ia--tak hanya dirinya.
Ia dan sang ayah harus menanggung akibat dari sebab yang dibuat.
Pagi tadi,
Sang ayah menyetujui pelepasan alat bantu yang dipakai kakaknya.
Sejujurnya, Jungkook tak rela untuk melepas. Tapi dirinya harus. Jungkook tak boleh egois.
Meminta seseorang bertahan walau telah mencapai batas paling ujung, itu egois bukan?
Dan Jungkook tak ingin menjadi orang
seperti itu. Ia tak ingin menjadi pengecut. Maka, kini ia memapak dirinya disamping sang ayah. Kedua netra bulat berkacanya menatap dokter dan perawat yang tengah melepas berbagai macam alat medis ditubuh kakaknya dari balik kaca.Tak jarang beberapa tetes buliran terjatuh dari kelopaknya. Tapi Jungkook menghapusnya.
Karena,
Tak semua perpisahan harus diiringi kesedihan bukan?
Dan ia tak berjanji untuk itu, namun Jungkook akan berusaha.
Janghyun menatap si bungsu. Terlihat dengan jelas jika Jungkook tengah menahan emosinya agar tak tumpah. Terbukti dari kepalan erat tangan juga wajah yang nampak memerah menahan tangis.
Janghyun mendekat. Merangkul Jungkook, membawa si bungsu ke dalam pelukannya. Menepuk punggung sang putera dengan lembut dengan tangan kekarnya.
"Jangan ditahan Kook-ah, semua akan menjadi menyakitkan jika kau pendam..." ujarnya.
Tapi semua itu juga berlaku untuk dirinya. Katakan Janghyun munafik. Tapi,
Ia hanya berusaha menjadi sosok ayah yang kuat dimata anaknya.
"Hiks..."
Hingga akhirnya, satu isakan itu lolos dari bilah bibir Jungkook.
Si bungsu semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh sang ayah. Membenamkan kepala dalam dada bidang dan meraung tertahan disana.
"Appa, hiks.. Yoongi... Yoongi Hyungie..."
Lirih, teredam isak tangis. Jungkook bahkan tak bisa lagi berucap dengan benar. Suaranya bergetar karena raungan tangis yang ia tahan.
"A-aku, hiks.. Aku--"
"Jungkook-ah..."Janghyun berucap. Memotong ucapan Jungkook dengan suara tegas bergetarnya.
Masih dengan pelukan itu, Janghyun membawa sang putera untuk duduk di kursi tunggu.
"Kookie..."
Janghyun berucap lirih. Menjauhkan pelukan mereka. Tangan kekarnya menghapus bekas air mata yang tadi mengalir deras.
Janghyun tahu ini berat bagi Jungkook, pula baginya. Tak ada yang tak bersedih disini. Dirinya bahkan masih meragukan keputusannya.
Apa keputusan yang ia ambil telah benar?
"Jungkook-ah..."
Mata Janghyun ikut memanas. Melihat puteranya seperti ini merupakan tantangan tersendiri untuknya. Rasa sakit itu menjalar. Walau ia ingin menahan semuanya, nyatanya satu tetes air mata meluruh tanpa bisa dikomando.
Dalam memorinya, terus berputar waktu-waktu yang ia lewati bersama kedua puteranya. Hal ini membuat hatinya panas, relung dadanya sesak. Dan untuk kali ini, Janghyun menangis. Menumpahkan semua perasaan di depan puteranya. Ia tak lagi bisa berbohong.
"Hiks, Yoongi sangat menyayangimu Kook-ah... Yoongi menyayangimu lebih dari apapun. Kau adik termanis miliknya. Yoongi berkata, Jungkook hanya miliknya seorang..."
Tangis Jungkook semakin menjadi. Kata-kata yang diucapkan snag ayah merangsek masuk ke dalam hatinya. Jungkook tak tahu. Tapi semuanya terasa begitu sakit sekarang.
Hyungnya... walau Jungkook telah melepas, rasa sakit itu tetap hinggap. Meremat relung hatinya dengan kuat.
Disisi lain, Janghyun juga tak bisa lagi mengontrol air mata yang keluar. Berkali-kali buliran itu jatuh, berkali-kali juga Janghyun menghapuskannya kasar.
'Ceklek.'
Ayah dan anak itu sontak berdiri. Menyambut kedatangan dokter dan perawat yang baru saja keluar.
Tak ada yang diucapkan. Para dokter dan perawat hanya membungkuk hormat selama beberapa detik sebelum memutuskan untuk beranjak dari sana.
Janghyun membawa langkahnya mendekat. Tangannya terulur untuk membuka pintu ruang rawat itu.
Dan pada saat itulah, hatinya mencelos seketika. Rasanya seperti ditikam dengan pisau berkarat. Sakit. Terlampau sakit.
"Kook..."
Yang dipanggil mendekat. Memasuki ruangan dengan tangis yang sebisa mungkin ia tahan.
Dan tepat ketika kedua kakinya menapaki ruangan, Jungkook memacu langkahnya untuk memeluk sang kakak erat. Amat erat. Mengusak kepalanya pada dada, tak peduli seberapa dinginnya tubuh itu.
Jungkook memeluknya erat.
Memberi kakaknya pelukan terakhir sebelum pergi.
Disisi lain, seorang remaja duduk bersila dengan senyum manisnya. Melihat sang adik yang enggan beralih dari raga miliknya, Yoongi tersenyum manis. Sangat manis. Matanya bergulir, menatap sang ayah yang hanya diam di samping pintu ruangan.
"Appa.." Gumamnya.
"Yoongi-ah!"
Yoongi menoleh. Mendapati sang ibu yang telah menunggunya.
"Sebentar, Eomma.." Ucapnya.
'Aku belum mendengar bahwa Appa melepasku...'
Sang ibu berjalan mendekat. Ikut melihat apa yang menjadi titik fokus Yoongi sejak tadi.
"Ayo, hm?" Ajaknya. Tapi sekali lagi Yoongi menolak. Memohon pada sang ibu dengan wajah memelasnya.
Hingga akhirnya, satu kalimat dari yang dibawah membuat senyum manis terpampang di wajah Yoongi.
"Yoongi-ah, Appa melepasmu. Appa... sudah menepati janji, bukan?"
"Ayo, Eomma!" Ajak Yoongi. Ia berdiri, menarik tangan sang ibu untuk pergi dari tempat itu.
Hingga akhirnya, keduanya menghilang. Tenggelam dalam cahaya terang.
"Appa, terimakasih telah melepasku, dan Kookie, dengar! Hyung menyayangimu, kelinci kecil Hyung! Kookie hanya milikku. Milikku seorang!"
End
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last ✔
FanfictionDisclaimer: fanfiction | Brothership - Completed Min Yoongi itu rapuh, tapi ia sembunyikan segala kelemahannya dalam topeng bak es. Ayah dan adik membencinya, karena sebuah kesalah pahaman. Padahal, Yoongi telah menggantikan dengan miliknya yang ber...