3. Cambuk Gandum

900 102 16
                                        

   Suara tangan mungil yang mengetuk-ngetuk pintu tidak lekas mengalihkan perhatian Shabir. Ia tidak rela jika anak perempuannya itu disakiti, bahkan oleh kakaknya sendiri. Itu semua baginya adalah hal yang paling menjengkelkan. Terlebih ketika orang yang dia benci berbuat hal fatal yang semakin menambah kebenciannya.

   Mata Shabir memerah seperti naik pitam dan hendak memukul Zehhad. Zehhad yang saat itu sedang terkurung di dalam gudang sangat merasa kecewa karena telah meninggalkan Shela sendirian di tepi danau. Ini pertama kalinya Zehhad meneteskan air mata, tindakannya pada Shela memang tidak bisa dimaafkan. Namun, ini bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan bukan? Zehhad mengaku salah, dan Shela sudah pasti akan memaafkannya. Tetapi bagaimana dengan Shabir?

   Shabir mengambil satu tangkai gandum yang sudah dibungkus karung. Kedua matanya memerah, menunjukan emosi yang kian memuncak. Ia menatap Zehhad dengan penuh amarah.

Jprat!

   "Aw...." rintihnya. "Paman, jangan lakukan itu," Zehhad merapatkan tubuhnya ke dinding kayu.

Jprat!
 
Jpart!

   Tubuh Zehhad dipenuhi dengan luka memar. Kulitnya yang dicambuk memerah, seperti hendak mengeluarkan darah.  Zehhad menangis. Ia tidak tahan lagi untuk mendapat siksaan. Perlahan tubuhnya menyentuh tanah dan berjalan merangkak menuju Shabir.

   "Maafkan aku, Paman," ucapnya diiringi rintihan akibat luka di sebagian tubuhnya.

Jpart!

   Shabir kembali mencambuk wajah Zehhad yang membuat gandum itu habis terkikis setiap mengenai kulit Zehhad.

   "Aku selalu mengatakannya padamu agar menjaga dia! Bagaimana jika adikmu meninggal?"

   Zehhad kembali merangkak dan bersujud di bawah kaki Shabir. Kedua tangannya yang bergetar memegang sepatu Shabir. Ia menangis kemudian memeluk kaki ayah tirinya.

   Shabir menendang dada Zehhad hingga putra angkatnya itu terbentur ke dinding gudang. Tangannya mengusap-usap celana dan sepatu yang baru saja dipegang Zehhad.

   "Jika sesuatu yang buruk terjadi lagi pada putriku, aku tidak akan pernah segan untuk mengusirmu dari rumah ini!" tegasnya, kemudian pergi meninggalkan Zehhad di dalam gudang.

   Balok kayu yang disimpan di sudut ruangan ia gunakan sebagai kunci agar Zehhad tidak keluar. Perlahan air matanya menetes ketika membayangkan Shela meninggal. Shabir tidak menginginkan hal itu terjadi pada putri kecilnya. Meskipun Shela hanyalah anak angkat, tetapi Shabir menyanginya lebih dari apapun.

   "Maafkan aku Paman, aku tidak akan mengulanginya lagi." Zehhad memukul pintu gudang beberapa kali tapi Shabir tidak menjawabnya.

   Shabir menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya. Kedua kakinya melangkah meninggalkan Zehhad yang sengaja dikurung di dalam gudang.

   Zehhad berhenti memukul. Pandangannya turun, membiarkan satu per satu air mata jatuh ke tanah tandus yang menjadi basah. Punggungnya terasa sangat perih, lecutan gandum itu terlalu menyiksanya. Zehhad benar-benar menyesal. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

   "Buka pintunya, Paman. Aku tidak akan mengulanginya lagi," katanya sembari memukul pintu dengan satu pukulan.

   Namun, pada akhirnya ia hanya dapat menangis. Shabir tidak kembali dan tidak sekalipun memberikan kesempatan. Zehhad menangis sejadi-jadinya. Ia menurunkan tubuhnya dan berjongkok sambil menyandarkan punggung pada pintu.

   "Maafkan Kakak, Shela." Zehhad memegang permukaan wajahnya dan merintih kesakitan ketika tangannya menyentuh bekas luka dari gandum yang Shabir lecutkan.

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang