Detik dan Harapan

165 24 1
                                        

     Sinar mentari memancar indah dari ufuk timur. Nampaknya Zehhad tidak tidur semalam. Kedua matanya sembab, layu oleh waktu. Pandangannya menatap lurus pada jendela yang terbuka. Beberapa orang seakan menjadi tontonannya. Ia tidak bisa diam dan beristirahat, ia ingin semua itu berakhir dengan cepat.

     "Hallo!" Pria itu datang dengan sebuah piring kaca di tangan kanannya.

     Zehhad menutup matanya sejenak untuk dapat merespon udara pagi. Ia menoleh pada pria itu yang duduk di sampingnya.

     "Wajahmu kenapa pucat? Apa semalam kau tidak tidur?"

     "Tidurku tidak nyenyak. Aku terus-menerus memikirkan Shela. Sekarang, bagaimana ya dia di sana?"

      "Percayakan semua pada yang maha kuasa. Shela akan baik-baik saja." Pria itu memberikan piring bersisi makanan pada Zehhad, "Ini, makanalah!"

      "Aku tidak bisa memakannya jika tidak bersama Shela."

      Pria itu menarik napasnya kesal, "Memangnya seberapa penting Shela untukmu hingga kau menyiksa dirimu sendiri?"

     "Dia adalah matahari dan aku langit. Aku tidak akan pernah melepas dia kecuali Allah telah berkehendak. Aku tidak bisa memakan itu, maaf paman."

     "Ya sudah, aku tidak bisa melarang." Pria itu berdiri kemudian menyimpan piring yang ia pegang di atas kasur. "Jika kau lapar, makan itu. Aku harus pergi mengantar putriku ke sekolah."

      "Tunggu paman, bisa tidak, kita berangkat sekarang saja?"

      "Bisa saja aku mengantarmu ke sana sekarang juga, tetapi aku harus mengantar putriku ke sekolahnya." Pria itu tersenyum pada Zehhad, "Tenanglah, aku akan kembali secepat mungkin."

      Ia beranjak pergi dari tempatnya berdiri. Zehhad kembali menatap jendela yang terbuka. Pria itu seperti menunjukan rasa sakitnya selama ini. Semenjak kecil ia tidak pernah menjadi pelajar apalagi di antar sampai sekolah. Sekarang, ia sendiri yang akan melakukan antaran ke sekolah itu tanpa merasakan suasana di dalamnya.

      Angin kecil berhembus membuat Zehhad mengerjap merasakan hangatnya belaian yang tercampur udara panas di padang pasir. Ia mencoba menatap sekitar kemudian mengambil sesuatu yang tergeletak di atas lantai. Ia meniup benda itu, membuat debu yang ada di sana berterbangan menuju sarang laba-laba yang menjeratnya.

     Senyum tipis terlihat di wajahnya. Ia menyimpan poto itu di dekat piring yang tidak pernah sekalipun ia sentuh. Zehhad menatap lengan kirinya yang tidak sempurna. Perlahan tangan kanannya bergerak dan membuka perban itu perlahan.

      "Eh? Apa yang kau lakukan?" ucap seorang wanita yang datang tanpa mengetuk pintu.

      Zehhad mengikat kembali lengannya dengan perban. Ia berdiri dengan tegap ketika wanita itu datang menghampirinya. Senyuman ragu nampak ia tunjukan pada wanita itu. Seperti saat-saat ia mendapatkan sebuah pengintimidasian dari para Zionis.

     Wanita itu mendekat pada Zehhad, "Sepertinya perbannya masih baru, kau tidak boleh membukanya."

     "Kenapa bibi bisa tahu?"

     "Karena aku seorang perawat, aku harus bekerja pagi ini dan meninggalkanmu di sini." Wanita itu beralih pada hal lain. Ia berjalan dan mengambil sepiring makanan yang disimpan di atas kasur.

     "Jadi kau tidak memakannya?"

     "Em, aku akan memakannya nanti."

     "Baiklah." Piring itu ia tunda di tempatnya semula, "Aku harap kau memakannya dan jangan membuat dirimu semakin tersiksa. Tunggu, sepertinya kau tidak tidur ya semalam?"

      "Aku tertidur sebentar."

      "Itu sangat tidak baik untuk kesehatan. Baiklah, setelah pulang kerja nanti aku akan membelikanmu suplemen."

     Wanita itu bergegas keluar dari dalam kamar yang ditempati Zehhad. Pemuda itu menatap foto yang tertutup piring. Perlahan kakinya melangkah, ia mengambil foto itu dan membiarkannya terletak di samping piring.

      Kebosanan untuk menunggu akhirnya membuat hatinya tergerak. Zehhad membuka pintu dan keluar dari dalam kamar. Matanya menyeret perlahan setiap gelap. Ia melangkah, hingga menemukan keramaian di luar.

      "Aku harus pergi sekarang," gumamnya pelan.

       Ia memantapkan langkah dan berjalan bersama orang-orang yang beraktifitas di pagi hari. Tatapannya mengedar pada penjuru kota, mencari sesuatu yang ia harapkan. Hingga akhirnya seorang pria membuat hatinya sedikit tenang.

       ”Paman!" Zehhad melambaikan tangannya.

      Pria itu menoleh padanya. Ia menarik tubuh putrinya dan menatap Zehhad yang sedang berlari ke arahnya.

      "Bagaimana paman, kita berangkat sekarang?"

      "Aku harus mengantar putriku dulu, baiklah. Kau pergi saja, nanti aku menyusul."

      "Tapi, aku tidak mengenal kota ini."

      "Bertanya pada orang-orang, maka kau tidak akan menemukan jalan buntu."

      Sebuah angkutan kota datang dan berhenti. Orang-orang yang sedari tadi menunggu akhirnya mulai menghilang, masuk ke dalam tubuh angkutan itu.

      "Aku harus pergi sekarang, jaga dirimu baik-baik di sini ya!" Pria itu tersenyum kemudian memangku putrinya dan masuk ke dalam angkutan.

      Zehhad menatap putri yang paman itu yang duduk di dekat kaca. Ia melambaikan tangannya pada Zehhad dan sejenak mengingatkannya pada Shela. Perempuan kecil itu telah membuat rasa rindunya memuncak. Zehhad tidak bisa tinggal diam, ia harus segera melakukan tindakan.

      Kakinya melangkah, berderap pada bata di sisi jalan. Pemuda itu mengusap peluh yang keluar. Bukan masalah baginya untuk hidup dengan penuh perjuangan, bukan masalah baginya untuk hidup penyiksaa. Zehhad sangat berbeda, dia tidak bisa digantikan oleh siapapun.

     "Permisi," ucapnya pada seorang pria bertopi yang tengah duduk sembari meneguk kopi di tangannya.

     Jarinya melentik untuk sesaat memasukan cairan manis itu ke dalam kerongkongannya. Ia menyimpan gelas itu di atas meja dan menatap Zehhad.

      "Ada apa?"

     "Aku mencari balai kota."

     "Mau apa kau ke sana?"

     "Aku ingin bertemu para tetinggi."

     "Memangnya kau orang besar? Percuma, mereka akan menolakmu, aku saja sudah muak melihat cara berpakaianmu."

      Zehhad diam pada posisinya. Kedua matanya sarat akan emosi. Tetapi akhirnya menurun seiring dengan napasnya yang diatur.

     "Kenapa diam?" Pria itu seperti sangat tidak suka untuk basa-basi.

      "Balai kota ada di depan, bangunannya megah dengan sebuah patung kecil yang menyemprotkan air pada taman. Letaknya tidak jauh dari sini. Pergilah ke sana jika kau tidak mempunyai malu."

      Zehhad terseyum penuh kebahagiaan, "Terimakasih paman."

     Zehhad berlari dengan cepat menuju tempat yang diucapkan seperti gambaran pria itu. Senyumnya tidak pernah memudar, ia rasa Allah telah memberikan kemudahan baginya. Ia bersyukur, dalam tiap langkah, dalam tiap detik, ia selalu bertasbih dan mengagungkan nama-Nya.

      "Anak itu… Benar-benar tidak punya malu," ketus pria itu kembali meminum kopinya.

      Sebuah bangunan yang berdiri megah dan jauh dari keramaian kota membuat Zehhad menghentikan langkahnya. Ia menatap halaman depan, penuh dengan suasa yang kharismatik. Beberapa patung berdiri dan menyemprotkan air pada tanaman yang bisa tumbuh di sana. Ia beralih dan memegang gerbang tinggi di sana. Perlahan kedua tatapannya terarah tajam pada dua penjaga yang berdiri di sana.

      "Permisi! Bisakah aku bertemu dengan tetinggi di sini?" tanyanya pada seorang penjaga yang menghampiri.

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang