Dendam Kesumat

293 55 16
                                    

     Antara hembus angin dan dinginnya udara malam, Zehhad berlari masuk ke dalam rumahnya. Kakinya melangkah dengan cepat menuju kamar Sadiah. Perlahan tangannya naik dan tertempel pada pintu. Ia menarik nafasnya dalam-dalam kemudian mengetuk pintu.

      Tok-tok-tok!

       "Assalamualaikum bi," ucapnya namun tidak mendapat jawaban.

      Zehhad memutar kepalanya mendengar orang-orang berteriak ketakutan. Ia kembali pada posisi awal. Kembali mengetuk, namun tidak mendapatkan jawaban. Tangannya bergerak membuka kenop pintu dan dengan mudah pintu itu terbuka. Tidak dikunci atau tersendat oleh karat.

      Ia melihat Sadiah sedang tertidur pulas di atas kasur rajutan. Senyum di wajahnya kembali merekah. Zehhad mendekat padanya, menatap wajah yang disembunyikan di balik punggung.

       "Assalamualaikum bi," ucapnya namun lagi-lagi tidak mendapat jawaban.

       Zehhad merasa ada sesuatu yang aneh. Perlahan tangannya menyentuh lengan kiri Sadiah dan membuat wanita itu berbalik. Senyumnya mulai pudar ketika melihat darah di hidung Sadiah. Ia membungkuk, mengusap darah yang keluar dari hidung Sadiah.

       "Kenapa hidungmu berdarah bi?"

       Sadiah hanya diam dalam tidurnya. Zehhad segera mengangkat tubuh Sadiah dan menggendongnya, pergi dari dalam kamar. Kakinya terus dipaksa untuk berjalan meskipun tidak kuat membawa Sadiah. Kedua tangannya saling berpegangan dengan dinding rumah yang akhirnya dapat membawanya keluar.

        Kedua matanya menatap ke sebelah kiri. Menyaksikan beberapa orang berlari terkejar ledakan bom. Zehhad kembali melangkah dengan sangat pelan. Ia tetap menggendong Sadiah hingga akhirnya dapat menjadikan jarak yang cukup jauh antara rumah dengannya.

        Dumhb!

       Kakinya seketika merasa lemas ketika bom itu jatuh tepat di belakangnya. Zehhad terjatuh dengan posisi tetap menggendong Sadiah. Bunyi bising di telinganya membuat ia tidak dapat merasakan apa yang terjadi. Ia kembali berdiri hingga akhirnya mampu menjauh dari lekadan bom itu.

     "Ze-zehhad, turunkan aku!"

     Kalimat yang diucapkan Sadiah mampu membuat pendengarannya kembali normal. Zehhad segera menurunkan Sadiah dan menatap wajahnya yang pucat.

     "Apa yang terjadi denganmu bi? Kau sakit?" Zehhad menggerakan tangan kanannya untuk kembali mengusap darah yang keluar dari hidung Sadiah, namun Sadiah menepisnya dan melakukan tindakan itu sendiri.

       "Naiklah ke punggungku! Kita harus segera pergi."

       Sadiah memegang tangan Zehhad kemudian berlari meninggalkan tempat mereka berdiri. Zehhad dapat merasakan getaran dari tangan Sadiah. Ia tahu saat ini Sadiah sedang sakit, tetapi Sadiah tidak mau membuatnya khawatir. Zehhad tersenyum, ia teringat dengan dirinya yang selalu ditindas oleh Shabir.

       Sadiah menutup matanya. Kakinya tidak mampu untuk melangkah hingga akhirnya terjatuh tepat di tengah-tengah perjalanan mereka mencari pertolongan.

        "Bibi kenapa?" Zehhad kembali menggerakan tangannya untuk membantu Sadiah bangun, namun Sadiah kembali menolak.

        "Pergilah, jangan pedulikan aku," ucapnya sebelum akhirnya benar-benar diam tanpa gerakan.

      Dumbh!

      Zehhad menoleh ke belakang dan melihat kepulan asap yang membumbung tinggi ke udara. Ia menutup matanya, sekedar menghilangkan firasat buruk bahwa rumahnya yang terkena bom. Orang-orang yang berlarian pun seketika menghilang, terganti dengan tebalnya asap.

       Zehhad kembali menggendong Sadiah dan berlari sesuai hatinya. Setetes air mata keluar dari dalam matanya, membuat beberapa jejak yang sulit untuk dilupakan. Ia berlari kembali dengan menggendong Sadiah.

       Sekarang, satu-persatu rumah sudah dihancurkan. Tidak ada lagi makan bersama atau tawa seperti keluarga Sizan. Zehhad mengecap tangis dengan bibirnya. Ia menatap ke depan, ke tempat beberapa orang sedang berkumpul. Kakinya terus melangkah hingga akhirnya sampai di tempat itu.

       "Tolong...." Nada suaranya melemah seiring dengan ambruknya tubuh ke atas tanah.

       Zehhad dapat melihat beberapa pria berlari menghampirinya. Tangan yang bertengger di bahunya lepas bersamaan dengan tubuhnya yang dibopong dan dimasukkan ke dalam sebuah tenda.

        "Tunggu," ucapnya menghentikan langkah seorang pria. "Di mana bibi?"

        Pria itu tersenyum. Ia mendekat pada Zehhad dan menatap kedua bola matanya. Ia menutup mata, membuat dirinya nyaman berada di dekat Zehhad.

        "Dia akan di rawat, kau jangan khawatir," ucapnya kemudian pergi meninggalkan Zehhad dengan beberapa orang yang terluka.

       Pria itu berjalan mendekat pada keramaian. Ia mengambil beberapa potong kayu yang ditumpuk menjadi satu. Mereka membangun sebuah pagar, untuk menahan orang yang hendak menghancurkan tempat itu.

      "Jangan memasangnya seperti itu, tidak akan kuat nanti...." ucapnya pada pria di sampingnya.

       Beberapa anak kecil menangis melihat tanah airnya dibantai habis dengan menggunakan bom. Mereka duduk, menunggu terkabulnya harapan. Termasuk Shela, yang hanya diam di atas pangkuan Shabir sembari menatap anak-anak itu menangis.

       "Kenapa mereka semua menangis paman?" tanyanya dengan memasang wajah bingung.

       "Mereka sangat berbeda denganmu. Mereka terlalu lemah, hingga keadaan seperti ini mereka tangisi. Jangan seperti mereka ya, kan kamu kuat. Kamu tidak akan pernah menangis hanya karena hal sepele," ucapnya namun tidak dapat dimengerti Shela.

        Shabir beranjak dari duduknya dan menghampiri beberapa pria yang hendak menyalakan api unggun. Ia duduk di antara himpitan pria itu, menunggu si jago merah menyala.

       "Apakah ini sudah selesai?" tanya Shabir pada pria di samping kanannya.

       "Aku tidak tahu," jawabnya membuat Shabir terdiam.

       "Apakah ada jalan lain selain diam di sini? Ini tempat yang tidak aman, mereka bisa saja datang dan menghancurkan tempat ini."

        "Aku tahu itu, tapi tidak ada tempat lagi yang harus kita gunakan. Selain diam di sini, kita juga harus menunggu sampai keadaan benar-benar pulih." Pria itu berdiri, meninggalkan Shabir karena tidak ingin diberi pertanyaan lagi.

        Shabir menatap api yang mulai menyala. Ia merubah sedikit posisi duduknya agar menjauh dari api unggun itu. Ia melihat Shela, kemudian mencium keningnya.

        "Duduk di sini ya, jangan nakal," ucapnya kemudian meletakan Shela di samping kirinya.

         Tangannya mengulur ke depan, merasakan hangatnya api yang merubah situasi. Ia menatap Shela dan tersenyum padanya. Tatapannya kembali pada keramaian. Ia memikirkan sesuatu untuk segera menjauh dari arena pertempuran.

        "Paman!"

        Shabir memutar kepalanya dan mendapati Shela sedang memainkan api di depan wajahnya. Tangannya yang mungil mengibas-ngibaskan kayu yang mulai terbakar api. Ia segera mengambil kayu itu dan menyimpannya kembali sebagai bagian dari api unggun.

       "Apa yang kamu lakukan! Kamu mau membunuh paman?" ucapnya getir sambil sesekali memerhatikan beberapa pasang mata sedang tertuju padanya.

        "Iya, paman sudah jahat pada kakak," ucapnya polos semakin menambah lebih banyak pasang mata yang melihatnya.

        Shabir meletakan jari telunjuknya di depan bibir Shela. Ia tersenyum malu karena kepolosan Shela dapat merubah keadaan.

        "Diam lebih baik daripada membuat paman malu," katanya yang kemudian kembali memangku Shela.

        Semua mata itu kembali pada posisi awal. Mereka tidak lagi memerhatikan Shabir yang berulah dengan anak kecil. Shabir kembali mengulurkan tangannya, membuat semua orang-orang berfikiran positif tentang dirinya.

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang