Pengundang Celaka

218 40 7
                                    

     Wanita itu menggerakkan tangannya agar Sari yang dipakai tetap membuatnya merasa nyaman. Ia terseyum kepada Shela. Sesuatu merasuki benaknya, tentang Shela yang cantik dan cocok untuk menjadi anggota keluarga.

     "Lebih baik kau tinggal saja di rumah bibi, siapa tahu kau bisa bertemu dengan kakakmu," ucap wanita itu sembari berusaha menyentuh Shela.

     "Tidak bi, aku akan menunggu kakak di sini."

     Wanita itu tersenyum, "Kalau mau bibi bisa membantumu dengan memasang iklan di seluruh penjuru kota. Bagaimana?"

     Shela menatap wajah wanita itu dengan senang. Bibir yang kecil itu kembali merekah, membuat sebuah keadaan yang nyaman. Shela mengulurka kedua tangannya dan memeluk wanita itu. Ia tersenyum di balik punggungnya. Kerinduannya pada Zehhad tidak bisa diganggu gugat, seperti keputusan seorang jaksa.

     "Terimakasih bi." Shela melepas pelukannya.

     Wanita itu tetap tersenyum. Ia menggerakkan kedua tangannya dan memangku tubuh Shela. Punjabi yang ramai kini akan menjadi sebuah tempat yang sangat indah. Dimana perpisahan akan berubah menjadi persatuan.

     Wanita itu melangkah mendekati sebuah mobil berwarna putih yang terparkir di samping tiang besi. Ia membuka kunci mobilnya dan masuk ke dalam. Wanita itu memasang kuncinya dengan baik dan mulai meyalakan semua mesin.

     Shela duduk dengan besandar pada kursi mobil yang empuk. Tangan kiri wanita itu bergerak menembus dimensi udara. Ia mengelus kepala Shela dan tersenyum.

     "Semoga bibi bisa membantumu menemukan kakak ya," ucapnya sambil menoleh pada Shela dan kembali fokus pada jalanan.

     Shela tersenyum penuh bahagia. Tangan wanita itupun telah kembali pada posisinya. Tidak lagi berada di atas kepala dan mengelus permukaannya. Harapannya untuk bertemu Zehhad sebentar lagi akan terkabul dengan cepat. Allah telah memberinya kemudahan dalam semua rencananya.

     Kepadatan Punjabi tidak lekas membuat wanita itu hilang kesabaran. Berulang kali mobilnya terhenti karena lalu-lalang manusia dan kendaraan. Di sana begitu ramai, penuh dengan lautan manusia.

     Perlahan kakinya menginjak pedal gas dan melanjutkan perjalanan. Beberapa pohon cemara menyambut kedatangan mereka. Keramaian pun terlihat semakin berkurang seiring dengan jarak tempat tinggalnya yang semakin dekat.

     "Tunggu di sini, bibi akan menurunkanmu." Wanita itu menarik kunci mobil dan membuat semua mesin berhenti bekerja. Ia turun, mengitari mobil dan memangku Shela keluar.

     Mobil itu sudah dalam keamanan. Sebuah rumah yang begitu tinggi seperti istana menyambut kedatangannya. Wanita itu menggendong Shela dan masuk ke dalam rumahnya.

     "Ehm!" Seorang pria pemakai jas putih berdiri di samping pintu lantas menghentikan langkahnya.

     Dia melangkah dengan pelan mendekati wanita itu. Ia menatap perlahan wanita dihadapannya. Terdapat keanehan dengan seorang anak kecil yang dipangkunya.

     "Aku tidak pernah marah padamu, tetapi tindakanmu kali ini sangat memalukan Amrita!" bentaknya membuat wanita itu tertunduk lesu.

     "Tapi ini tidak seperti yang kau kira Badhinadi, aku menemukan dia di_"

     "Kau selalu beralasan. Silahkan masuk! Bawa semua barang milikmu dan pergi dari rumah ini."

     Wanita bernama Amrita itu menurunkan Shela. Tangannya bergerak memegang lengan Badhinadi dan memohon padanya untuk tidak diusir. Raut wajahnya seketika berubah menjadi sangat mengkhawatirkan. Tetapi apa menurut Badhinadi? Dia malah mengira itu semua hanya akting belaka.

     "Damini!" teriaknya sambil menoleh ke dalam rumah.

      Terlihat Damini berjalan terpogoh-pogoh dengan berjinjit agar kain sarinya tidak terinjak. Ia menghampiri Badhinadi dan membungkuk sebagai rasa hormat pada tuannya.

     "Iya tuan?" ucap Damini dengan tundukan lesu.

     "Tolong bawa semua barang Amrita!"

     "Baik tuan."

     Amrita semakin menjadi. Ia menarik lengan jas Badhinadi berulang-ulang hingga kusut. Melihat itu, Badhinadi yang tadinya diam kini mulai tersulut emosi. Ia mendorong tubuh Amrita hingga terpental ke atas tanah.

     "Aku sudah mengatakannya padamu! Jangan pernah berhubungan dengan pria itu!" ucapnya sembari membenarkan kain jas yang kusut.

     Shela berjalan perlahan mendekat pada Amrita. Tangannya yang mungil menyentuh kain sari Amrita dan duduk di sampingnya.

      "Tuan." Damini memberikan sebuah koper yang berisi baju Amrita.

     Badhinadi mengambil koper itu dan melemparkannya ke depan Amrita. Amrita terlihat sangat terkejut melihat Badhinadi melakukan itu padanya. Dengan segera ia bangkit dan berlari memohon kepada Badhinadi agar tidak di usir. Tetapi Badhinadi bukanlah pria yang mudah luluh hatinya. Ia mendorong Amrita dan menutup pintu, sebagai tanda bahwa Amrita tidak diizinkan untuk masuk dan bertemu dengannya.

     Damini tersenyum simpul. Ia menarik tubuh Amrita dan menenangkannya. Baginya, kejadian seperti itu tidak hanya terjadi sekali. Melainkan berkali-kali tetapi Amrita tetap sabar menghadapi suaminya.

     "Mari aku bantu nyonya," ucapnya sembari membantu Amrita untuk bangun.

     Amrita memangku Shela dan meraih koper. Ia berjalan perlahan keluar dari halaman rumah itu. Kepalanya memutar pandangan ke belakang, merasakan betapa buruknya dampak dari perjodohan.

      Ia kembali melanjutkan perjalanannya dan menyimpan koper itu pada bagasi. Lantas kembali duduk di balik kemudi dan membiarkan Shela duduk di sampingnya. Tatapannya kembali pada rumah yang megah itu. Tidak ada satupun tanda bahwa Badhinadi akan menghentikannya. Amrita sangat menyesal karena Badhinadi tidak mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

     Mesin itu kembali dipaksa bekerja. Amrita menginjak pedal gas dan meninggalkan rumah itu. Sikut lengan kanannya bertopang pada pintu mobil dan jari tangannya memijat pelipis yang terasa sakit.

     Sesekali ia menatap Shela yang hanya terdiam. Mengingat Shela menjadikannya bersedih akan kisah masa lalunya. Amrita tidak pernah merasakan bahagia di masa kecilnya. Baru saja sekolah dasar ia sudah dinikahkan dengan seorang pria dewasa. Alasannya tidak logis sekali. Kedua orangtuanya menjadikan Amrita sebagai jaminan untuk melunasi hutang-hutangnya.

     Mobil itu akhirnya berheti di depan sebuah rumah yang berbeda jauh dengan miliknya. Tembok yang kusam, jendela yang tidak selesai di cat, membuat rumah itu seperti tidak layak untuk dihuni.

     Amrita kembali mematikan mesin dan memangku Shela. Ia meraih koper yang disimpan di bagasi dan memasuki rumah itu. Pagar bercat putih sudah ia buka hingga akhirnya sebuah pintu yang cukup tua berdiri di hadapannya.

     Tok-tok-tok!

      Seorang pria dengan kaos hitam dan celana jeans muncul dari balik pintu. Senyumnya mengembang saat melihat Amrita datang. Tubuhnya menggeser, menggerakkan tangan kanan sebagai tanda pengundang Amrita untuk masuk.

     Amrita menyimpan kopernya di dekat meja. Ia menghempaskan tubuh ke sebuah sofa dan mendudukan Shela di sampingnya.

      Pria itu menutup pintu dan duduk di sofa yang lain. Ia menatap wajah Amrita yang penuh dengan rasa khawatir. Terlebih  ketika tangan kanan Amrita kembali memijat pelipisnya, dia merasa ada sesuatu yang buruk terjadi pada Amrita.

     "Aku ingin_" Dia tidak melanjutkan ucapannya karena Amrita mendesah penuh kekesalan.

     Tangan kanan Amrita berubah menjadi agresif dan memukul-mukul sofa yang tidak bersalah. Sepertinya Badhinadi sangat berharga baginya. Sehingga kejadian seperti itu telah menjadikan depresi besar padanya.

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang