Mentari masih urung untuk menampakkan dirinya. Ia menetap dan memerhatikan rembulan yang mulai tenggelam. Dalam keadaan seperti itu awan berubah menjadi asap. Gelap, tanpa satupun cahaya harapan.
Seperti itulah keadaan di Palestina. Gelap, penuh dengan asap dari bom perusak. Zehhad berdiri dan bergegas masuk ke dalam masjid. Ia menilik setiap desain indah yang diterapkan di dalam. Beberapa kaligrafi memenuhi dinding, menjadikan pemandangan indah yang penuh dengan arti.
Ia menyegerakan untuk melakukan shalat sunah dua raka'at sembari menunggu Sizan dan pria itu selesai berwudhu. Dalam tiap do'anya ia memohon untuk diberi keselamatan dunia akhirat. Ia juga memohon untuk mendapatkan hari yang cerah di Palestina. Hingga akhirnya selesai shalat pun ia masih merundung dalam do'anya.
"Assalamualaikum," ucap Sizan membuat Zehhad memutar tatapannya.
"Waalaikumusalamm," jawabnya sembari berdiri dengan dibantu Sizan.
Pria itu masuk ke dalam masjid dan berdiri dengan tegap menghadap kiblat. Di belakangnya berdiri Zehhad dan Sizan yang siap menjadi makmum.
"Allahuakbar."
Pria itu mengangkat tangannya dengan diikuti makmum. Ia menjadi imam dalam kegiatan shalat yang hanya dilakukan tiga orang. Para penduduk di sana tidak satupun terlihat berada di luar atau mengunjungi masjid. Mereka semua sepertinya dalam keadaan berduka, melihat satu-persatu anggota keluarganya habis dimakan kejamnya hati manusia.
Pria itu menggerakan bibirnya dan membacakan surat Al-Bayyinah. Suaranya mengalun indah hingga tidak terasa langit pun tersenyum karenanya.
"Allahuakbar."
Gerakan ke dua mereka lakukan setelah takbiratul ihram. Zehhad kadang meringis ketika tangan kirinya harus naik ke udara dan menciptakan ngilu yang sangat sulit untuk dilupakan. Tangan kirinya sulit sekali untuk digerakkan, terkadang geraknya cukup lama untuk kembali memulai ulang kemampuan lengan kirinya.
Mereka melakukan gerakan shalat itu hingga matahari menyambut dan mereka menyudahi shalatnya. Pria itu duduk dengan posisi tetap. Ia memutar tatapannya dan memberikan tangannya untuk disalami Zehhad dan Sizan.
Tangan mereka menengadah ke atas. Pria itu menggerakkan bibirnya dan membuat nada bicara yang tegas kini berubah menjadi lemah-lembut. Matanya memerah karena duka atas apa yang di alaminya. Ia berdoa, meminta semua perang itu berhenti.
"Kembalikan Palestina dan Shela padaku, seperti saat-saat hamba bahagia bersamanya," ucap Zehhad dalam do'anya.
Mereka bertiga akhirnya tersenyum setelah mengatakan "Aamin...." Zehhad kembali berjalan dengan dibantu Sizan. Berulang kali tangan kanannya bergerak, menyentuh tembok masjid yang masih kokoh. Hingga akhirnya mereka kembali naik ke atas mobil dan melihat betapa indahnya matahari terbit di ufuk timur.
"Semalaman tanpa tidur," ucap Sizan membuat kedua lelaki itu tertawa.
Pria itu kembali memutar kunci dan menginjak pedal gas. Kedua matanya menatap ke depan hingga sesuatu yang tidak diharapkan terjadi.
Bumph!
Sebuah bom yang dijatuhkan dari atas pesawat membuat ia menginjak rem dengan cepat. Zehhad dan Sizan segera turun dari atas mobil itu dan melihat beberapa tentara sedang berjalan ke arahnya.
"Apakah mereka temanmu? Tetapi kenapa seragamnya berbeba?" ujar Sizan pada pria di sampingnya.
"Tidak, mereka adalah para penggeretak. Ayo sembunyi sebelum mereka menembak mati kalian!"
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Teen FictionKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...