Udara malam yang harusnya terasa dingin kini berbalik, menjadi tidak menentu. Kobaran api yang tercipta dari ledakan tidak akan pernah padam selama perang itu terjadi. Mereka menangis kehilangan orang yang mereka sayangi. Termasuk kakak beradik itu yang tengah berjuang untuk saling menguatkan.
Shela tidak bisa tertidur saat itu. Ia masih membuka matanya dan memainkan dadu kecil yang ditinggalkan Zehhad. Perlahan dekapan tangan kirinya semakin kuat, membuat kotak walnut itu tidak pernah lepas.
Perlahan pikirannya melayang, tidak sabar untuk melihat sang kakak pulang. Senyumnya begitu indah, seperti bidadari kecil yang mendapatkan sayapnya kembali. Ia tidak tahu bahwa Zehhad tengah bertolaj belakang dengan apa yang dia inginkan. Lelaki itu berlari melewati para warga yang melempari batu kepada para Zionis.
”Teruslah berlari!" teriak pria di depannya.
Lontaran batu dari karet katapel seakan mengiringi perjalanan mereka. Para mujahid, wanita bercadar dan darah di pelipis telah menjadi pemandangan tersendiri di sana. Dia, seorang laki-laki yang tetap hidup untuk mewujudkan impiannya.
"Seberapa lama lagi kita akan sampai?" ucap Zehhad di tengah-tengah napasnya yang tersengal.
"Bandara masih jauh, tetaplah berlari!"
Jdor!
Jdor!
Bumph!
Suara itu tidak pernah berhenti. Rempah duka bertebaran di mana-mana, pengiring jiwa yang hendak menemukan tuhannya.
"Awas!!"
Bumph!
Zehhad terlempar bersama pria itu. Ledakan rudal itu telah membuat jantung mereka berdetak tidak normal. Napasnya pun sudah mulai tidak terkendali, terburu harapan yang tidak boleh dipadamkan.
"Kau tidak apa-apa kan? Apakah ada yang terluka?" Pria itu memerhatikan wajah Zehhad yang akhirnya mendapat sebuah gelengan kepala.
"Bagus! Ayo berlari lagi!" Pria itu membantu Zehhad berdiri dan melanjutkan perjalanan.
Senapan yang dipegangnya terangkat ke udara, memutar pada udara kemudian menembakan amunisinya. Begitu seterusnya sampai Zehhad menghentikan langkahnya.
"Aku sudah tidak bisa berlari. Belakangan ini kaki kananku sering sakit, aku tidak tahu kenapa ini bisa terjadi," keluh Zehhad sembari memegang lututnya.
"Ambillah ini! Naik ke punggungku." Pria itu menaikan Zehhad pada punggungnya dan bangkit, berlari di antara kepulan asap yang menyerang.
"Aku tidak bisa menembak."
"Lakukan apa yang tidak pernah kau lakukan! Hidup adalah tantangan."
Zehhad mengangkat senapan itu dan mengarahkannya pada siapun yang mendekat. Batinnya menghitung waktu dalam satuan. Beberapa detik kemudian ia menembak pada Zionis yang hendak berlari ke arahnya.
"Bagus! Lakukan itu hingga kita sampai di bandara!"
Beberapa menit kemudian mereka akhirnya dapat bernapas lega karena para Zionis itu telah hilang. Perlahan energi pria itu mulai habis. Ia melemah dan ingin sekali berhenti.
"Turunkan aku paman!"
Ia tidak memedulikan itu. Kakinya terus melangkah hingga akhirnya sampai di bandara. Padangannya manatap sekitar, begitu sepi tanpa satupun menusia di sana. Ia curiga, bandara pasti telah kunci.
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Teen FictionKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...