Duka tanpa Air Mata

254 45 12
                                    

     Tatapannya tidak berubah. Hanya terus memandang wajah Sizan yang akhirnya meneteskan air mata. Zehhad tersenyum mencibir. Ia selalu teringat dengan kalimat yang Sizan ucapkan. Tetapi dia sendiri melanggar apa yang telah diucapkannya.

     "Laki-laki tidak boleh menangis." Zehhad tersenyum tipis dan meletakan tangan kiri di samping pinggangnya.

     Sizan tertawa kecil dan menyeka air matanya. Ia mengusap perlahan lengannya, tidak dapat membayangkan betapa sakitnya kehilangan anggota tubuh.

     "Tanganku hilang, tapi aku masih bisa bernapas." Zehhad memalingkan wajahnya menatap alat impusan yang terus menetes, menyalurkan air itu pada lengannya.

     Sizan memutar tubuhnya dengan pelan. Kakinya perlahan pergi meninggalkan Zehhad yang masih tertegun dengan tangan yang hilang. Sesekali bola matanya tertutup kelopak, berusaha untuk tidak menangis.

     Ia menggerakkan tangan kirinya dan menyentuh gagang pintu. Tidak pernah terpikir bahwa Zehhad akan menjadi seperti itu. Ia masih memiliki anggota tubuh yang lengkap sedangkan temannya telah habis dibawa ledakan bom.

     "Sudah selesai?" tanya pria itu yang hendak masuk namun terhenti karena bertemu Sizan.

     "Alhamdulillah," jawab Sizan sembari melanjutkan langkahnya.

     Orang-orang yang tertidur di atas lantai kembali menyambut kedatangannya. Tangan kanannya naik dan memegang batang senapan. Ia berbalik, menatap wajah pria yang sedang bersamanya.

     "Mereka semua adalah korban bom juga?" tanyanya sembari menatap nanar ke depan.

     "Sebagian besar memang karena bom, tapi sebagian lagi korban peluru yang tidak mengenai target."

     "Sepertinya aku tidak layak untuk memegang senapan ini." Sizan melepas tali yang mengalung pada lehernya.

     "Tidak, jangan kau lepas. Kau hanya perlu berlatih untuk bisa menjadi penembak yang jitu."

     Sizan menurunkan tangannya dan membiarkan tali itu masih mengalung pada lehernya. Tubuhnya kembali memutar ke belakang dan melihat tangis yang memenuhi setiap lorong rumah sakit.

     "Bagaimana jika kita berlatih sekarang?" tanya pria itu sembari berjalan mendekat pada Sizan.

     "Aku berpamitan dulu," ucap Sizan yang kemudian beralih dan kembali membuka pintu.

     Tatapannya melihat ke depan, menatap wajah Zehhad yang terbungkus kesabaran. Senyumnya kembali merekah, ia memantapkan langkah hingga akhirnya sampai di depan Zehhad.

      "Jaga dirimu ya, aku akan pergi dan berlatih. Semoga cepat sembuh dan bisa kembali memberikan apel untukku," ucapnya diakhiri dengan tawa kecil.

     "Semoga kau bisa membidik dengan tepat."

      Mereka saling menukar senyum dan tawa. Sizan kemudian menipiskan senyumnya dan memutar arah tatapan, hendak pergi. Namun tangan kiri Zehhad menyentuh sikutnya dan dengan refleks ia kembali menatap Zehhad.

     "Aku ikut!" pinta Zehhad namun hanya mendapatkan senyum simpul tanpa tindakan.

      "Kau tidak wajib mengikuti kemiliteran. Kau harus bisa melindungi dirimu sendiri, bukan melindungi orang lain."

      "Itu tidak masalah. Aku melindungi orang lain atas perintah hati dan pikiranku. Sizan, aku ikut denganmu."

     "Tidak Zehhad, kau tidak akan bisa memegang senapan."

     "Apel hijau bisa menjadi manis, sedangkan apel merah kebanyakan membusuk. Apakah kau masih meragukanku?"

     Sizan mengerjap kemudian mengangguk. Ia mengerakan tangan kanannya dan memegang lengan kiri Zehhad. Ia tersenyum, bahagia karena semangat Zehhad tidak pernah memudar.

     "Baik, kau boleh ikut."

     Zehhad tersenyum simpul. Perlahan kakinya bergerak menuruni ranjang dan mendapat respon positif dari Sizan. Ia perlahan turun dan menginjak lantai yang terasa dingin.

     "Bagaimana melepas selang ini?" Zehhad menarik lengannya yang teraliri selang kecil dan meringis ketika gerakkannya ternyata berdampak buruk.

     "Jangan lakukan itu! Impusan akan sangat menyakitkan jika dipaksa dilepas."

     "Jadi, aku harus membawa tiang itu keluar?"

     "Sepertinya iya, itu lucu sekali." Sizan tertawa kemudian mendorong pelan Zehhad dan mereka keluar.

     Tangan kanan Zehhad memegang tiang impusan sedangkan lengan kirinya menggantung di samping pinggang. Sedikit demi sedikit, udara malam membuat lengannya terasa ngilu. Sakit sekali dan pegal.

     Pria yang sedari tadi berdiri di luar menatap itu tidak percaya. Dahinya mengkerut karena bingung dengan apa yang dilakukan mereka. Perlahan tangannya melepas ke udara dan ia mendekat pada Sizan yang fokus dengan gerak tubuh Zehhad.

     "Apa yang kalian lakukan?" tanyanya sedikit membentak.

     "Aku ikut dengan kalian, aku akan berjuang untuk menemukan adikku dan membebaskan Palestina dari tangan para penggeretak." Zehhad kembali berjalan dengan menenteng tiang impusan.

     "Tidak! Jangan keras kepala. Kau belum sembuh total, masih memerlukan perawatan di sini." Pri itu menahan tubuh Zehhad yang hendak melewatinya.

     "Biarkan dia ikut bersamaku, aku yang akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi padanya," sela Sizan membuat pria itu diam tanpa satu katapun yang keluar dari mulutnya.

     Sizan kembali mendorong Zehhad dan melewati beberapa orang yang sedang dimandikan air mata. Ia kembali melangkah hingga akhirnya seorang perawat menghentikan perjalanannya.

     "Tunggu, kau masih memerlukan perawatan! Aku tidak akan membiarkanmu pergi," ucapnya sambil mendorong tubuh Zehhad agar kembali masuk ke dalam ruangan perawatan, tetapi Sizan melepaskan tangannya.

     "Jangan berisik, biarkan dia pergi. Kami berdua harus menyelematkan semua orang," titah pria itu yang tanpa disadari Zehhad dan Sizan.

     "Tapi pak, keadaannya tidak memungkinkan."

     "Sangat mungkin bahkan meyakinkan. Biarkan mereka pergi dan bertemu dengan yang lain."

     Perawat itu menggangguk. Ia melepas impusan yang menusuk lengan Zehhad dan membuat Zehhad meringis ketika impusan itu menarik kulitnya.

     "Terimakasih," ucap Zehhad sebelum akhirnya kembali berjalan bersama Sizan.

     Perawat itu tersenyum melepas kepergian salah-satu pasiennya. Semua harapan telah digantungkan, semua do'a telah dipanjatkan. Ia menyatukan kedua telapak tangan dan menengadahkannya.

     Sizan naik ke atas mobil dan menarik Zehhad untuk duduk bersamanya. Akhirnya pria itu kembali duduk di balik kemudi dan pergi meninggalkan rumah sakit itu. Sesekali ia menoleh ke belakang, memerhatikan apa yang terjadi pada Zehhad. Hatinya terasa lega ketika melihat Zehhad dan Sizan saling bertukar tawa. Semangat para pemuda itu telah membakar habis kegelapan di Palestina. Lambat-laun pasti menjadikan api yang sangat besar dan mampu mengusir kegelapan.

     Tidak terasa sudah begitu lama sekali mereka hidup di dalam malam. Suara adzan subuh terdengar dikumandangkan dengan indah. Zehhad menatap sekitar hingga sebuah masjid yang berdiri dengan kokoh di depan membuatnya senang sekali.

     "Sudah waktunya untuk shalat. Bisakah kita berhenti sebentar saja?" pintanya yang mendapat anggukan setuju dari pria yang duduk di balik kemudi.

     Mobil itu berhenti di depan sebuah masjid yang berdiri kokoh di antara bangunan yang hancur. Pria itu memutar kuncinya dan turun dari atas mobil. Ia memangku Zehhad kemudian membawanya masuk ke dalam masjid itu.

     "Tolong bantu aku melepas perbannya," ucap Zehhad pada Sizan.

     "Jangan dilepas!" potong pria itu. "Sebaiknya kau tayamum saja, itu lebih baik untuk menjaga penyembuhanmu."

     Zehhad mengangguk kemudian berjalan meninggalkan Sizan dan pria berbadan tegap itu. Ia meletakan tangan kanannya pada tanah yang penuh dengan debu dan mengusapnya pada bagian tubuh.

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang