Sahabat Sejati

188 24 0
                                    

     "Paman!" Zehhad bangkit dari keterpurukannya.

      Kakinya melangkah dengan sangat berat. Partikel debu yang berterbangan seakan menjadi saksi perjuangan seorang kakak untuk kembali mendapatkan adiknya. Tangan kirinya tiba-tiba terlepas dan tergantung begitu saja. Kakinya mulai terasa lemas. Ia terjatuh, menahan rasa sakit yang menusuk kakinya. Tangan kannya terulur ke depan dan bibirnya bergetar.

     "Pam...." ucapnya tapi tidak sekalipun mendapatkan perhatian dari Shabir.

      Kedua suami istri yang sedang diam itu lekas membangunkan Zehhad dan membawanya ke balik reruntuhan. Shabir tetap tidak mengiharukannya. Ia sangat tidak peduli dengan Zehhad yang membutuhkan pertolongan. Baginya, menolong Zehhad hanya akan menimbulkan ke khawatiran yang besar. Benarkah demikian?

     "Diamlah Shela! Paman tidak mau mereka semua melihat kita," ucapnya sembari mengunci gerak tubuh Shela.

     Shela yang tadinya berontak kini hanya diam melihat kakaknya dibopong menjauh. Ia menatap nanar semua itu. Perasaan rindunya seketika berubah menjadi palsu. Hancur, tidak menyisakan harapan sedikitpun.

     "Kakak!" teriaknya saat Zehhad benar-benar menghilang dari pandangannya.

      Shabir menoleh kesana-kemari memerhatikan keadaan sekitar. Seketika ia berhenti, mengingat sesuatu yang penting sedang tertinggal di sana. Perlahan tangan kirinya mengambil ponsel dan menekan beberapa nomor.

      Dia berbicara dengan temannya melalui sambungan telepon. Wajahnya sangat panik sekali dan berulang kali berdecak kesal.

      "Tolonglah, aku harus kembali ke India," ucapnya penuh nada penyesalan.

     Tiba-tiba sambungan telepon itu ia tutup. Shabir mengecap bibirnya dan kembali melanjutkan perjalanan. Shela ia dekap kuat-kuat di dadanya, karena takut jika ada seseorang yang mengambil putrinya.

      "Paman jahat!" cerc Shela tetapi Shabir hanya bersikap acuh.

      Kedua kakinya terus melangkah menyusuri jalanan penghubung kota Gaza dan Yerussalem. Sesekali ia menoleh ke belakang, mengkhawatirkan Zehhad akan mengikutinya.

      Seketika wajahnya kembali terarah ke depan setelah melihat seorang pria dengan senapan di tangannya membuatnya terkejut. Shabir mendorong dada pria itu dan menimbulkan tawa yang sangat tidak ia sukai.

     "Aku tidak suka dengan perbuatanmu yang seperti ini!" ujarnya pada pria itu.

     Pria itu tertawa kecil, "Maaf. Ya sudah, ayo kita pergi dari sini!"

      Shabir Kembali menatap ke belakang dan mengangguk pada temannya. Mereka berdua berlari menyusuri jalanan yang sepi dan di sampingnya diletakan beberapa mayat yang meninggal dengan menankutkan.

     Shabir mendekap Shela agar perempuan kecil itu tidak ketakutan. Ia terus melangkahkan kakinya dengan cepat mengikuti temannya.

     "Bersembunyi!" ucap temannya pada Shabir.

     Mereka berdua berbelok dan menuju pada salah-satu bangunan yang sebagian sudah runtuh. Shabir berjongkok di bawah flafon yang masih terterap dan menunduk, berusaha untuk melindungi Shela.

     "Tenanglah, paman akan menyelamatkanmu." Bibirnya bergerak dan mengecup kening Shela.

      Tangan kanannya mengelus-elus punggung Shela, berharap putrinya itu akan tenang sedikit dan tidak terus menangis. Sesekali ia menengok pada jalan yang kini dilalui para Zionis menggunakan mobilnya. Shabir sangat tegang sekali saat ini. Bibirnya bergetar, tidak kuasa menahan sakit di dalam hatinya.

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang