Merelakan Dia Pergi

339 51 19
                                        

     Langit malam yang begitu cerah sekarang sudah mati tertutup asap. Sinar rembulan hanya masuk sebagian, tidak ada penerangan ataupun cahaya harapan bagi penduduk di Palestina. Terlebih Gaza.

      Saat itu, Sadiah membuka matanya dan terbangun di antara orang-orang yang sedang di obati. Ia duduk dengan posisi kaki terselonjor ke depan. Kedua matanya menatap sekitar. Sepi, penuh dengan duka.

       Ia menggerakan kedua kakinya untuk berdiri dan keluar dari dalam tenda. Kakinya masih terasa lemas hingga berulang kali ia memegang bagian tenda yang dianggapnya cukup untuk membuatnya berdiri.

       "Tunggu dulu, kau belum sembuh!" ucap seorang wanita yang berlari dan membawa Sadiah kembali untuk berbaring.

        "Aku tidak bisa diam di sini, aku harus bertemu dengan keluargaku," bantah Sadiah sembari melepas tangan wanita itu dari lengannya.

        "Tidak bisa, kau harus tetap berada di sini."

        "Aku mohon, biarkan aku bertemu dengan keluargaku."

        Wanita itu menarik nafas panjang. Ia menatap wajah Sadiah yang masih pucat. Bukannya ia melarang, tetapi itu dia lakukan agar Sadiah cepat sembuh.

        "Baiklah, aku akan mengantarmu."

        "Tidak perlu, aku bisa berjalan sendiri. Lebih baik kau urus yang lain saja."

        Sadiah melangkah keluar dan melihat beberapa orang sedang berlalu lalang. Ia menyusuri sekitar dengan pandangannya. Hingga akhirnya, sosok Shabir terlihat di antara merahnya api. Ia kembali melangkah dan menghampiri Shabir yang duduk di dekat Shela.

        "Assalamualaikum," ucapnya membuat semua orang menjawab salam itu.

        Shabir memutar pandangannya dan mendapati Sadiah sedang berdiri di belakang. Ia tersenyum kemudian menggeser Shela agar Sadiah dapat duduk.

        "Duduklah!" titahnya membuat Sadiah tersenyum.

        Sadiah menurunkan tubuhnya dan duduk menghadap api unggun. Ia melihat Shela yang hanya diam tidak seperti biasanya. Tangannya mengulur ke depan, sama seperti apa yang dilakukan para pria yang duduk di sana.

        "Apa yang kau lakukan padanya?" tanya Sadiah ketika melihat tidak ada perubahan yang ditunjukan Shela.

        "Dia memainkan api dan aku menyuruhnya untuk diam," jelas Shabir tetap dalam posisinya.

        Sadiah berdiri kemudian memangku Shela. Ia memberikan senyum pada perempuan kecil itu. Namun Shela bergeming. Ia tetap tidak menunjukan perubahan apapun.

        "Jangan seperti itu Shela, itu tidak baik." Sadiah mencubit pipi Shela sehingga Shela meronta meminta untuk dilepaskan.

        Sadiah menurunkan Shela tetapi tidak melepaskan tangannya. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada putri angkatnya. Sehingga Shela harus dijaga agar tidak meninggalkan tempat mereka sedang berjaga.

        Beberapa mobil besar datang menciptakan kepulan asap yang begitu banyak. Beberapa tentara turun dan masuk ke dalam tempat mereka berlindung. Sadiah segera memangku Shela dan melihat apakah yang akan mereka lakukan.

        Semua orang yang berada di sana berdiri. Tentara-tentara itu mendekat dan mengintrogasi satu-persatu penduduk. Sadiah memeluk Shela, berharap agar semua yang dia punya tidak habis direnggut manusia yang serakah.

        "Tolong jangan panik!" ucap salah seorang pria yang muncul di balik tubuh para tentara. "Kami di sini hanya akan mengamankan kalian! Jadi, jangan khawatir. Semua makanan pokok akan kami berikan malam ini."

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang