Shabir tersenyum indah. Dilihatnya seorang perempuan kecil ke arahnya namun seketika seorang pria berlari dan memangku perempuan kecil itu. Senyumnya memudar tanpa meninggalkan jejak. Ia memurung sebentar, merasakan betapa kejamnya balasan yang ia terima.
Perawat di sampingnya mrmbantu ia berdiri. Kakinya melangkah dengan terpaksa. Sebenarnya Shabir tidak mau jika ia harus terus-menerus ada di rumah sakit. Tempat itu membuatnya cepat bosan dan tanpa sadar, ia telah banyak kehilangan waktu.
"Tunggu," ucapnya membuat beberapa perawat yang menapahnya berhenti. "Aku ingin melakukan puja."
Mereka yang memapahnya itu mengangguk menyikapi pasiennya. Shabir berbalik dan dengan papahan yang pelan ia berhenti di depan sebuah patung dewa Brahma.
Kedua tangannya menyatu dengan cepat. Ia memberikan salam, kemudian berbicara dengan iringan kepalanya yang bergoyang.
"Ku mohon padamu, jangan kau ambil Shela terlebih dahulu. Aku masih ingin bersamanya. Aku ingin membawa dia bertemu kakaknya."
Shabir melepas tangan kanannya dan menyentuh kening. Ia mengarahkan tangan kanannya kembali ke depan patung dewa Brahma dan akhirnya pergi dari sana.
Tatapannya merundung masa lalu,
Balon udara terbang indah ke atas sana,
Tapi tunggu,
Bagaimana akhirnya?
Pasti penasaran ya kamu?
Yuk simak ceritanya.Sesekali ia menatap kebelakang, memastikan bahwa Shela akan hadir dan memanggil namanya. Tetapi sampai ia tiba di depan pintu kamar perawatan, Shela yang diharapkan tidak kunjung datang.
Wajahnya tertunduk lesu. Ia menatap kedua kakinya yang masih bisa berjalan namun terasa sedikit sakit. Kasur itu kembali menjadi tempat ia berbaring. Seorang dokter kembali mengecek ke adaan Shabir kemudian berbalik dan mengambil beberapa berkas.
"Keadaanmu sudah sangat membaik. Silahkan tinggalkan ruangan ini dan untuk pembayaran di luar," ucap dokter itu sedikit memerintah.
Shabir mengecap lidahnya kesal. Percuma saja ia dilarang bertemu Shela tapi pada akhirnya tetap saja sama, yaitu keluar dari ruangan itu. Kendati caranya yang berbeda, tetapi Shabir tetap merasa tidak berguna.
"Lepaskan aku," titah Shabir pada perawat yang memegang tangannya.
Ia berjalan keluar kamar dengan langkahnya yang sedikit terganggu. Tatapannya menyusuri sekitar hingga akhirnya berhenti pada seorang wanita yang duduk menghadap layar monitor.
"Permisi," ucapnya membuat wanita itu menengadah dan menatap wajahnya. "Bisa tolong carikan pasien bernama Shela?"
Wanita itu mengangguk kemudian mengutak-atik keyboard. Ia menggerakan mouse dan menlalukan scroll. Kedua matanya menilik dengan cepat hingga akhirnya berhenti pada sebuah nama pasien yang disebutkan Shabir.
"Kamar 12, tempat penanganan lebih lanjut."
Shabir mengangguk kemudian pergi meninggalkannya. Ia kembali bepegagan pada tembok dan menghentikan perjalanannya ketika ada orang yang keluar masuk tempat perawatan. Ia terus melangkah dan berhenti di depan pintu yang dikatakan wanita itu. Peralahan tangannya membuka pintu itu namun sesuatu yang buruk kembali menimpanya.
Shela tidak ada di sana. Tempat itu sudah sangat kosong sekali. Kasurnya tidak memiliki tanda kusut sebagai tanda bahwa ada seseorang yang tidur di sana. Harapannya seketika pupus, hilang tertelan keserakahannya sendiri. Akhirnya Shabir juga ngerasain Zehhad yang dipisahin sama dia sendiri - pembaca.
"Paman!"
Perlahan ia menoleh pada seorang perempuan kecil yang duduk di atas kursi roda. Air matanya menetes membasahi pipi. Ia tersenyum bahagia tapi sakit di hatinya masih tetap ada. Tidak hilang, bahkan lebih menyakitkan.
Tubuhnya turun dan berjongkok di depan Shela. Ia menggerakkan tangannya dan menyentuh Shela yang telah kehilangan sesuatu di kepalanya.
"Paman!" teriak Shela sekali lagi.
Shabir hanya tersenyum mendapat semua itu. Ia bergerak, kemudian mengulurkan tangan dan memeluk Shela. Ia menutup mata sebentar, bahagia dan sedih bercampur di sana. Shela telah kembali. Semangatnya yang padam kini kembali menyala, terbakar percikan api harapan.
"Paman merindukanmu." Shabir menarik tubuhnya kembali dan menatap Shela penuh perhatian.
"Paman! Kenapa aku bisa bertemu paman?" ujar Shela membuat Shabir kembali mengeluarkan tawa kecil.
"Dewa telah mengabulkan semua doaku. Kita dipertemukan di sini, sudahlah. Ayok ikut bersama paman. Kita bertemu kakakmu." Shabir menggerakkan tangannya untuk menarik tubuh Shela namun tertahan oleh perawat yang sedari tadi memegangi Shela.
"Dia tidak akan bisa pergi tanpa kursi rodanya."
"Tunggu, apa maksudmu?"
"Dia lumpuh. Mungkin akan selamanya, karena tulang tumitnya bermasalah."
Saat itu senyumnya melemah. Shabir kembali mengarahkan pandangannya pada Shela. Ia menangis di sana, kemudian bergerak mengecup kening Shela perlahan.
"Kita akan tetap bertemu Zehhad," bisiknya pelan.
Shabir berdiri dan meraih pegangan kursi roda. Ia menatap pada perawat di sampingnya. Seperti risih sekaligus tidak peracaya dengan apa yang baru aja di dengarnya.
"Kau tidak berbohong kan?"
"Maaf pak, aku hanya menyampaikan hasil pemeriksaan. Jika tuhan berkehendak lain, mungkin dia bisa kembali berjalan."
"Aku bisa membawanya pulang sekarang?"
"Tentu pak, dia sudah menunggumu sejak 2 hari yang lalu."
Shabir menggangguk kemudian berjalan perlahan menuju tempat pembayaran. Baju pasien itu masih melekat di tubuh keduanya. Orang-orang menatap mereka semua dengan teliti, tetapi mereka hanya menganggap itu biasa dan kembali pada dunianya. Shabir meraih dompetnya namun tidak ada saku di sana. Ia mencoba mendekat pada sebuah telepon genggam dan menatap wanita yang duduk di samping telepon itu.
"Bisakah aku meminjamnya sebentar?" pintanya kemudian mendapat anggukan.
Ia meraih telepon yang disodorkan dan menyuruh wanita itu menekan beberapa angka. Hingga akhirnya telepon itu tersambung.
"Cepat ke sini, aku membutuhkanmu!" ucapnya pada seseorang di sebrang sana.
Telepon itu ia kembalikan. Shabir melangkah sembari mendorong Shela menutu sebuah tempat duduk. Ia menurunkan bokongnya hingga tertahan oleh sesuatu. Perlahan matanya bergerak, memerhatikan Shela yang kelihangan sesuatu di atas kepalanya.
"Tunggu sebentar ya, kita harus membayar perawatan di sini," ucap Shabir pelan.
Shela menatap Shabir sebentar kemudian kembali pada tangannya. Beberapa ukiran dari hena itu memenuhi kulitnya. Satu hal yang ia pikirkan, aneh. Hanya itu yang bisa ia katakan dalam hatinya.
Setelah beberapa lama, akhirnya Shabul datang dengan ponsel di tangannya. Pria itu berdiri di depan pintu masuk kemudian bergegas menghampiri Shabir. Sebuah kartu ia sodorkan padanya, membuat Shabir berdiri dan segera melakukan pembayaran.
"Hai kecil!" sapanya pada Shela.
Shela hanya menatap pria itu sebentar kemudian kembali pada kulitnya. Ia mulai memiliki rasa tidak peduli dengan semua yang seperti Shabir. Karena menurutnya, paman atau orang dewasa seperti Shabir hanya akan terus menyiksa tanpa tahu sebab dan akibat dari siksa yang diberikan.
"Aku mempunyai sesuatu untukmu." Shabul mengambil sesuatu dari balik jaket kulitnya. "Kacang! Kau mau?"
Sekali lagi Shela hanya menatapnya dan mengacuhkan ia. Shabul yang tadinya tersenyum senang kini mulai tertutup. Ia duduk di samping Shela dan memakan kacang itu sendirian.
Secercah cahaya telah memburamkan mata, begitu yang dianggap oleh kegelapan. Tetapi nyatanya tidak. Buktinya air di dalam baju dapat diangkat oleh cahaya. Jadi, jangan ragukan kebaikan ya....
🕊️🕊️🕊️
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Teen FictionKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...