"Bagaimana sekarang, apakah masih terasa sakit?"
"Masih, tapi tidak seperti tadi."
"Minumlah ini." Ia menyodorkan segelas kopi. "Kau akan sedikit merasa lega meminum ini. Kopi memiliki kandungan kafein yang baik untuk membuatmu melupakan sejenak rasa sakit itu."
"Tidak perlu paman, aku tidak akan meminumnya seb_"
"Sebelum Shela meminumnya juga, oke. Sudah cukup aku mendengar kalimat itu."
"Terimakasih paman." Zehhad terseyum tipis kemudian meluruskan kakinya agar membuat otot-otot yang mengencang sedikit rileks.
"Memangnya apa yang terjadi pada kakimu?"
"Tidak ada apapun, mungkin karena terlalu sering berlari."
"Bisa seperti itu ya? Aneh sekali." Pria itu meneguk kopinya hingga habis.
"Paman, pukul berapa sekarang?"
Pria itu menilik jam pada lengan kirinya, "Setengah delapan pagi. Memangnya apa yang kau lakukan? Rapat masih sangat lama, sekitar dua jam lagi."
"Aku boleh meminta sesuatu?"
Gelas yang dipegangnya disimpan di dekat kotak tusuk gigi dan ia menatap ke arah Zehhad, "Boleh, aku tidak akan melanggarmu."
"Aku tidak melihat masjid di sini, apakah di sini tidak ada masjid?"
"Kau belum tau," ucapnya tersenyum sinis. "Di sini terdapat banyak masjid, tapi letaknya sangat jauh. Terhimpit bagunan kota."
"Kalau begitu antarkan aku ke sana?"
"Em…" Matanya menatap sekitar kemudian ia mendekat pada Zehhad. "Kau tahu kan, Israel sedang dalam masa-masa penjagaan. Setahuku hanya penduduk beragama islam yang boleh beribadah di tempat ibadah yang ada di sini. Sedangkan kau, kau orang Palestina. Tentu mereka semua akan menangkapmu jika kau melakukan tindakan yang melanggar."
"Aku tidak peduli dengan itu semua paman, aku akan tetap melaksanakan kewajibanku apapun keadaannya. Serumit apapun aku akan tetap menjalan perintah dan larangan-Nya. Aku, tidak akan pernah berpaling dari agamaku."
Pria itu diam sejenak. Ia mengalihkan posisi duduknya dan memainkan gelas yang sudah ia habiskan kopinya. Mendengar Zehhad yang berkata seperti itu tidak bisa ia larang. Ia juga tidak mungkin melarang orang untuk melaksanakan kewajibannya. Di dalam agamanya tidak pernah diajarkan hal seperti itu. Ia bimbang sekarang.
"Jadi, apakah paman mau mengantar aku ke sana?"
"Ti…" Ia menarik napasnya sebentar. "Baiklah, kau boleh ke sana. Tapi untuk apa?"
"Aku harus melaksanakan shalat Dhuha. Aku harus berdoa untuk Shela dan Palestina."
Pria itu mengangguk kemudian berdiri, "Aku akan mebayar, kau tunggu di sini hingga aku kembali!"
Zehhad mengangguk dan membiarkan pria itu pergi. Ia mengurut pelan kaki kanannya yang lambat-laun mulai berkurang sakitnya.
"Kak,"
Zehhad memalingkan wajahnya menatap seorang perempuan kecil yang memegang botol kosong.
"Aku akan menyanyikan satu lagu untukmu," ucap perempuan kecil itu kemudian bernyanyi sembari menyodorkan botol kosong yang dipegangnya.
"Indah sekali suaramu, sama seperti Shela," batinnya.
"Kak?" Perempuan kecil itu berhenti bernyanyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Ficção AdolescenteKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...