Sang Putri

156 25 2
                                    

     Waktu sudah menunjukan akan tenggelamnya mentari. Shabir memangku Shela yang berhasil tertidur dengan menempelkan wajahnya pada kaca pesawat. Ia berdiri dan melepas sabuk yang membelit tubuhnya.

     Hatinya sedikit tenang ketika kejadian pesawat terbakar itu tidak kembali terjadi. Ia berbaris dan perlahan melangkah menuruni tangga. Sepatu yang dipakainya berhasil menginjak aspal dan ia segera menghampiri toilet bandara.

      Kakinya terus melangkah hingga akhirnya sampai di depan sebuah toilet. Perlahan tangannya bergerak membuka pintu dan ia masuk ke dalam.

      Sebuah keran yang terkunci menarik perhatiannya. Ia mendekat pada keran itu kemudian membasuh wajah Shela dan wajahnya. Senyum itu ditunjukkan pada sebuah cermin yang memantulkan cahaya.

     "Tersenyumlah Shela," ucapnya sembari merobek bibir kerucut Shela.

     Sebuah tangan mungil yang memukulnya membuat Shabir segera menutup saluran keran dan berjalan keluar dari dalam toilet itu. Wajahnya seketika terasa dingin ketika udara yang tanpa cekaman itu membuat paru-parunya sehat.

      Shabir kembali melangkah dan memasuki sebuah taxi. Ia mendudukan Shela di sampingnya dan taxi itu mulai berjalan meninggalkan bandara.

     Shela menggeser bokongnya dan menatap keluar melalui kaca mobil. Sayang sekali, rembulan teman terindahnya itu telah tiada. Terganti oleh awan yang menutupinya. Ia mengerjap, merasakan hilangnya harapan untuk bertemu sang kakak.

     "Duduk di sini Shela, paman mempunyai sesuatu untukmu!" ucap Shabir namun tidak lekas membuat Shela mendekat padanya.

     Setidaknya rintangan untuk menajauhi Palestina telah berhasil Shabir lakukan. Ia senang sekali karenanya. Bebas dari para Zionis yang menggeretak, membuat semua keadaan itu menjadi indah. Bahkan lebih indah daripada Sadiah. Benarkah itu? Kau merasakannya tidak?

     Taxi itu berhenti di depan sebuah rumah yang terdapat seorang nenek sedang duduk dengan menopang jidatnya. Shabir mengangakat tubuh kecil Shela dan keluar dari dalam taxi itu. Ia berdiri mematung di depan pagar, menatap betapa buruknya pemandangan di depan.

     Shela ia turunkan dari pangkuannya dan menuntun tangannya erat sekali. Perlahan tangannnya menggeser pagar dan menghampiri nenek itu. Sebuah senyum ia dapatkan darinya. Nenek yang tadinya menopang jidat kini berdiri dengan sempurna menatap putranya. Tangan kanannya bergerak mengangkat sari dan ia memeluk Shabir.

     "Aku pikir kau tidak akan kembali ke rumah ini," ucapnya getir, melepas rindu yang berbalutkan tindakan jahat.

     "Sudahlah ibu, aku harus membuat anakku tertidur. Dia pasti sangat lelah sekali."

     Nenek itu melepas pelukannya dan membiarkan Shabir untuk masuk. Lagi-lagi pemandangan buruk yang ia lihat. Majunda sedang menyuapi Shabul dengan beberapa potong pepaya.

      Majunda memberhentikan gerak tangannya yang menyuapi Shabul. Ia menelan ludahnya ketika melihat Shabir datang.

      "Ya ampun istriku, mulutku pegal sekali," ucap Shabul membuat Majunda kembali pada posisinya. "Dari tadi aku membuka mulut untuk mendapatkan pepaya itu. Tapi kau malah berhenti di tengah jalan."

      "Ya ampun suamiku, maafkan aku." Majunda meletakan garpu yang dipegangnya di atas piring dan menyilangkan kedua tangan yang saling mencubit bagian bawah telinga.

      Shabir menggelengkan kepalanya. Ia kembali berjalan masuk ke dalam kamarnya dan membaringkan Shela di sana. Perlahan pikirannya kembali pada Shabul dan Majunda. Drama suami istri itu tidak pernah ia lakukan pada Sadiah. Ia mengerjap, berusaha untuk menghilangkan semua pikiran tentang Sadiah.

     Dari balik pintu nenek itu datang dengan kain sarinya yang meleber kemana-mana. Ia menghampiri Shabir dan sedikit menghirup udara agar dapat membuat semua rencananya terjalankan dengan baik.

     "Syukurlah kalian sudah selamat," ucapnya kemudian duduk di samping Shela. "Kau begitu cantik sekali. Dia pasti akan menyukainya."

     Shabir menajamkan tatapannya mendengar kalimat yang sangat aneh itu. Ia menatap nenek itu penuh selidik. Matanya mendelik, melihat sebuah gerak yang mencurigakan.

     "Maksud ibu siapa? Siapa yang menyukainya?"

      Nenek itu memalingkan wajahnya pada Shabir. Bibirnya bergetar, sulit untuk mengucapkan sebuah kalimat.

       "Di-di, Di sini kami akan meyukainya. Putrimu ini cantik sekali Shabir. Tapi, kenapa wajahnya beda denganmu?"

      Ucapan nenek itu membuatnya seperti dalam keadaan skatmat. Ia membung mukanya ke arah lain, mengingat Shela bukanlah anak kandungnya.

       "Sudahlah ibu, jangan ganggu dia."

       Nenek itu menatap Shabir misterius. Perlahan tubuhnya terangkat dan ia pergi begitu saja. Shabir membuang napasnya lega. Ia mendekat pada Shela dan menidurkannya di sana.

      "Tidur ya, besok pagi kau akan bermain dengan kota Punjabi," ucapnya sembari menutup tubuh Shela dengan selimut dan ia melangkah pergi keluar.

      Di sana Shela menatap nanar pintu yang tertutup. Dalam pikirannya ia memikirkan sang kakak. Tidak ada lagi gandum tumbuk atau sesuatu yang sering Zehhad berikan. Semua terasa hilang dengan sempurna. Diambil kejamnya sikap Shabir pada mereka berdua.

      Ia mengerjap, berusaha untuk tertidur namun tidak bisa. Hingga sesuatu yang muncul dari balik pintu membuatnya merasa was-was. Majunda dan nenek itu datang dengan mengendap-endap. Entah apa yanh dilakukan keduanya. Terasa konyol dan tidak ada gunanya.

     "Ibu!! Sudah aku katakan aku saja yang masuk. Ibu hanya menyusahkanku saja," ucapnya sembari menarik kain sari yang diinjak si nenek.

      "Hei Majunda, kau yang selalu menyusahkanku. Dheuh.... Kau semakin tidak waras saja."

      Tangan-tangan itu memangku Shela keluar kamar. Shela hanya diam tanpa satupun perlawanan. Ia tahu, nenek itu sangat baik sekali. Berbeda dengan wanita di sebelahnya.

       Sebuah mobil hitam yang berhenti di depan pagar membuat Majunda dan nenek itu kembali berdebat. Mereka masuk dan membawa Shela pergi dari rumah itu.

      Mobil pun berjalan menembus jalanan kota Punjabi yang terasa sedikit sepi. Mereka berdua masih berkutik untuk memperebutkan posisi Shela. Hingga akhirnya sebuah rumah yang besar sekali menyambut kedatangan mereka.

      "Aw.....! Kau pasti sangat menyukai pesta ini kecil!" ucap Majunda senang.

      Shela tertawa kecil. Ia turun dari dalam mobil dengan dituntun nenek itu. Beberapa orang menyambut kedatangan mereka. Senyilir aroma alkohol menyeruak ke dalam hidung. Ruangan dengan desain seperti istana raja menyambut kedatangannya.

      Mata Shela berbinar cantik. Namun seketika ia tertunduk lesu karena Zehhad tidak dapat menikmati pesta bersama. Beberapa orang datang menghampiri mereka dengan senyum dan tawa yang menggema.

      "Untunglah kalian datang tepat waktu! Hampir saja pesta ini aku bubarkan," ucap seorang pria berkacamata dan memiliki postur tubuh yang besar.

      "Tentu saja aku akan menepati janjiku padamu tuan Catjuhko."

      "Iya tuan, rumah ini begitu mewah sekali."

      "Diam Majunda."

      Pria itu tertawa kecil kemudian membungkuk dan menyetuh hidung Shela. Saat itu Shela merasa terganggu dan berulang kali berontak. Tetapi kedua wanita di sampingnya selalu memberikan perlawanan yang sepadan.

     "Jadi ini adalah ratu yang akan menggelar pesta," ucapnya dengan senyum penuh isyarat.

      Pria itu kembali pada posisi berdiri tegaknya. Ia membenarkan dari kupu-kupu di lehernya dan berteriak, membuat semua orang berkumpul.

     "Acara akan segera dimulai!!"

🕊️🕊️🕊️

     Apa ya rencananya? Jangan dulu ke bab selanjutnya karena harus komen. Komen!

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang