Cahaya Harapan

208 35 6
                                    

     Saat mentari mulai naik dan menerangi kegelapan, hanya satu yang membuatnya merasa bersedih. Cahanya tidak bisa masuk ke dalam penjara itu, terlalu sulit untuk ditembus.

     Zehhad diam dalam duduknya. Kedua matanya memutar ke kiri dan ke kannan, melihat pergerakan orang-orang di depannya. Suasana di dalam penjara itu sudah sangat tidak terkendali. Sel sebelah lebih berisik dari yang dikira.

     Kakek itu masih sibuk melafalkan setiap dzikir dalam doanya. Ibu jarinya berulang kali mengganti posisi biji tasbih dan dia tidak dapat berhenti. Sedangkan pria yang sedari tadi tidak ada sabarnya itu sibuk mengoyang-goyangkan jeruji besi hingga terciptalah sebuah suara yang memekakan telinga.

     "Wajahmu seperti terkena pukulan? Benarkah itu atau... Aku salah melihatnya?" ucap pria di sampingnya.

     Zehhad tertawa kecil. Ia menatap wajah pria di sampingnya dengan sangat bahagia. Sebenarnya hatinya tidak merasakan kebahagian sedikitpun. Dari dulu hingga sekarang ia hanya menyembunyikan sakitnya.

     "Aku terjatuh saat memetik apel." Zehhad meringis ketika tidak sengaja lengan kirinya menyentuh tembok.

      "Tidak, itu luka yang serius. Memerah segaris hanya karena terjatuh? Itu seperti tidak mungkin."

      Obrolan mereka berdua terhenti ketika mendengar suara tembakan dari luar. Seketika sel itu menjadi sepi tanpa satupun suara. Pria itu membantu Zehhad berdiri dan menghampiri jeruji besi. Mereka semua memposisikan tatapan pada serongan kanan dan melihat beberapa tentara penjaga berjatuhan.

     Melihat itu sontak mereka semua menjadi canggung. Antara senang dan khawatir memenuhi pikirannya. Mereka menakutkan sesuatu yang buruk terjadi lagi.

     Seketika suara riuh kembali terdengar saat melihat Sizan dan beberapa orang lainnya datang dengan mengibarkan bendera Palestina. Mereka membagi posisi dan membebaskan tahanan yang dikurung. Hingga akhirnya Sizan menatap tidak percaya saat melihat Zehhad ada di depannya.

      "ZEHHAD!!?"

      Tidak perlu berlama-lama, akhirnya ia membobrok gembok dengan senapan dan akhirnya terlepas. Pintu sel terbuka dan yang pertama keluar adalah pria yang tidak suka dengan kesabaran. Ia berlari keluar bersama dengan tahanan lain yang dibebaskan.

     "Kau masih hidup?" tanya Zehhad sembari dipapah oleh pria itu.

     "Seperti apa yang kau lihat sekarang," jawab Sizan kemudian tersenyum sumringah.

     Pria itu kembali memapah Zehhad dan keluar dari dalam penjara. Satu-persatu tentara yang diturunkan menjaga barisan yang akan dibawa dan diamankan. Sizan menarik tangan kanan Zehhad dan mengambil alih untuk memapahnya.

     Bumph!

     Barisan terdepan terpental karena sebuah rudal yang dijatuhkan. Beberapa mobil Zionis terlihat terarah pada mereka. Sizan segera berbalik dan memapah Zehhad dengan cepat. Ia membiarkan orang lain dalam kedaan bahaya. Bukannya tidak mau menolong, tetapi keadaanya tidak memungkinkan. Ia tidak dapat membantu orang lain dan meninggalkan Zehhad begitu saja. Ia tidak ingin mengkhianati arti dari teman yang sebenarnya.

      Bumph!

     Mereka semua berlari dengan cepat. Ledakan-ledakan itu membuat mereka dalam keadaan yang panik. Api yang menyala, serta debu dari ledakan bom dan rudal itu membuat Sizan merasa lemas. Tetapi ia tidak ingin menyerah begitu saja. Ia terus memapah Zehhad hingga akhirnya tali sepatunya lepas dan Sizan jatuh ke atas tanah.

     "Aku akan menggendongmu!" ucap pria di samping Zehhad.

     Sizan melepas sepatu yang ia kenakan dan berlari bersama Zehhad dan pria yang menggendongnya. Sesekali pandangannya menatap ke belakang, memastikan bahwa keadaan aman.

      Jdor!

      Satu peluru ia lepaskan pada roda mobil bagian depan. Mobil itu tiba-tiba hilang kendali dan akhirnya membanting semua penumpan yang ada di atasnya. Sizan terkekeh kemudian melanjutkan perjalanannya.

       Satu-persatu anggota dari tahanan itu mulai berkurang. Sekiranya hanya tersisa 7 oranh di sana, termasuk Zehhad, pria itu dan Sizan. Mereka berlari memasuki kumpulan pohon yang akan membuat keadaan menjadi sedikit terkendali.

      "Kita beristirahat di sini saja. Lebih baik kita keluar pada malam hari, di luar pasti mereka memasang strategi baru yang tidak kita ketahui," ucap seorang pria tentara Palestina sembari melepas topi kerasnya.

      Mereka semua duduk di bawah pohon yang rindang. Napas yang tadinya tidak normal lambat laun menjadi seperti biasanya. Pria itu menurunkan tubuh Zehhad perlahan dan membiarkannya duduk di samping Sizan.

      "Kenapa kau bisa tahu bahwa aku ada di sana?" tanya Zehhad sembari memegang lengan kirinya agar tidak tersentuh Sizan.

      "Aku tidak tahu kau ada di sana. Tadinya aku hanya mengikut pada tentara Palestina yang menjemputku. Namun saat kami hendak pulang, mobil itu melintas di depan dan kami mengejarnya."

     "Sepertinya kau sudah pandai menembak," ucap Zehhad sembari tertawa kecil.

      "Tentu saja, tapi ini semua juga karena kau Zehhad."

      "Aku?"

      "Ya, jika kau tidak menyelamatkanku, mungkin aku tidak akan bisa menemukanmu. Aku banyak mengalami kejadian aneh saat dalam perjalanan untuk menemuimu."

      Mereka berdua tertawa lepas. Zehhad menatap pada sepasang sepasang suami istri yang saling melindungi. Haru bercampur sedih membuatnya mengingat sosok Sadiah dan Shabir.

    
🕊️🕊️🕊️

     Shela masih menatap keluar. Tidak ada rasa kantuk atau lapar yang dia alami. Bahkan roti itu masih setia dipegangnya. Tidak pernah lepas ataupun terjatuh dari tangannya. Ia merindukan sosok Zehhad, kakak laki-laki yang selalu membuatnya bahagia.

      "Jangan terus melihat ke luar atau kau akan terkejut ketika burung terbang di depanmu," ucap wanita pemberi roti itu.

      Shela menarik kepalanya dan dusuk dengan posisi nyaman. Ia menatap roti yang dipegangnya kemudian menoleh ke sebelah kiri. Ia merasa jam terbangnya sudah mulai agak lama. India sudah tertinggal jauh. Ternyata kota itu hanya sebagai perantara, bukanlah tempat pemersatu adik dan kakak.

     "Aku mempunyai sesuatu untukmu!" ucap wanita itu merasa iba melihat Shela yang tetap pada prinsipnya.

     "Taraaa!!!!"

      Wanita itu menunjukan sebuah topi baret berwarna pink yang sangat bagus sekali. Shela seketika merubah ekspresinya dan mengulurkan tangan, hingga akhirnya menerima pemberian itu.

     "Kau menyukainya?"

     "Iya bibi, bagus sekali. Terimakasih...."

     "Jaga baik-baik ya, sebentar lagi kita akan sampai."

     Wanita itu mengelus kepala Shela sebentar dan kembali pada dunianya. Shela memeluk topi baret itu dan tersenyum. Ia kembali membayangkan wajah Zehhad yang pasti akan sangat bahagia melihatnya datang.

     Pesawat itu perlahan turun dan menimbulkan sedikit guncangan. Shela kembali melihat keluar melalui jendela yang kecil. Perlahan pesawat itu berhenti dan membukakan pintu di badanya.

      "Tunggu dulu," ucap wanita itu kemudian melepas sabuk yang mengikat tubuh Shela.

      Dia memangku Shela dan berbaris bersama penumpang lainnya. Senyumnya tidak pernah memudar saat bertemu perempuan kecil seperti Shela. Peralahan kakinya menginjak satu-persatu anak tangga dan akhirnya menginjak aspal yang hitam.

      Udara yang sebelumnya segar kini berubah menjadi tidak enak untuk dihirup. Ia menyegerakan untuk memesan taxi dan pergi dari tempat itu. Sepertinya ia tidak tahu tentang berita Palestina, dimana api dan air tidak pernah mau untuk bersahabat.

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang